Kutub Tujuh Pemberontakan di Indonesia:
Di Ujung Kiri
PKI, di Ujung Kanan DI/TII (1)
PUBLIKASI 81 foto
dokumentasi hari-hari terakhir ‘proklamator’ Negara Islam Indonesia, SM
Kartosoewirjo, yang sekaligus adalah panglima tertinggi Darul Islam/Tentara Islam
Indonesia, sengaja atau tidak, menguak salah satu luka lama republik ini.
Seluruhnya, bersama pemberontakan DI/TII tersebut, ada tujuh luka besar penuh
darah sepanjang usia republik yang pada 17 Agustus 2012 yang baru lalu ini
genap 67 tahun. Belum terhitung luka-luka berdarah lainnya yang lebih kecil,
namun terakumulasi sebagai suatu rangkaian keperihan bagi bangsa ini, dengan
kalangan akar rumput selalu sebagai korban utama yang paling menderita.
BENDERA NEGARA ISLAM
INDONESIA. “Lalu bagaimana mungkin itu semua disebutkan sebagai suatu
perjuangan suci? Kalau nama Islam dibawa-bawa sebagai pembenaran, memangnya
sebagian terbesar korban itu bukan penganut Islam? Bukankah sembilan dari
sepuluh rakyat Indonesia adalah penganut Islam?”. (download okezonenews)
Tujuh pemberontakan
‘besar’ itu adalah Pemberontakan Madiun 1948, Pemberontakan DI/TII sejak
Agustus 1949, Pemberontakan Separatis Republik Maluku Selatan (RMS) 1950,
Pemberontakan PRRI/Permesta 1958-1961, Peristiwa Gerakan 30 September 1965,
lalu dua terbaru, perlawanan bersenjata Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan
perlawanan gerilya Organisasi Papua Merdeka (OPM). Semua ditumpas dan
diselesaikan dengan tindakan tegas dan keras oleh pasukan pemerintah, kecuali
GAM dan OPM.
Mulanya masalah GAM coba
diatasi dengan operasi militer –yang terkesan dipanjang-panjangkan dan enggan
dituntaskan dengan cepat, entah dengan pertimbangan apa– di masa Presiden
Soeharto, namun diakhiri dengan perundingan damai di masa Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono dan Wapres Jusuf Kalla. Perundingan dan kompromi ini adalah
sikap terlunak yang pernah ditunjukkan pemerintah terhadap suatu pemberontakan.
Jauh dari kriteria perdamaian yang layak misalnya diganjar dengan hadiah nobel
perdamaian, baik untuk Susilo Bambang Yudhoyono maupun untuk Jusuf Kalla.
Dengan penanganan
seperti itu, perlawanan GAM tercipta menjadi seolah-olah suatu gerakan
kemerdekaan ‘bangsa’ Aceh. Ini ironis, karena pemimpin-pemimpin Aceh pada momen
proklamasi termasuk pelopor pendukung kemerdekaan Indonesia yang ikut
memberikan kontribusi berharga bagi negara baru ini. Pesawat pertama milik
republik, Seulawah, disumbangkan oleh para pemimpin dan masyarakat Aceh.
Sementara itu, terdapat tokoh Aceh dalam proses persiapan kemerdekaan
Indonesia, anggota PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) Haji Teuku
Moehammad Hasan. Bahkan jauh sebelumnya tokoh-tokoh muda Aceh ada dalam barisan
pemuda yang mencetuskan Sumpah Pemuda 1928.
OPM juga adalah sebuah
ironi. Nama Papua itu sendiri, seperti kata pejuang Trikora Herlina, lebih
terkonotasi kepada OPM yang adalah bentukan Belanda. Para pendiri OPM dikenal
sebagai tokoh-tokoh Irian yang sangat tunduk kepada Belanda. Mereka membentuk
OPM saat ikut bermukim di negeri mantan penguasa kolonial di Irian tersebut,
setelah memilih lari ke Belanda meninggalkan Irian. Sementara itu, beberapa
putera Irian lainnya, seperti Dimara, Raja Rumagesan, Frans Kaisiepo, Marthen
Indey ikut berjuang membebaskan Irian dari tangan Belanda. Begitu juga seorang
mahasiswa Irian yang bersekolah di Belanda, Fritsz Kiriheo. Pangeran Bernhard,
suami Ratu Juliana, merupakan tokoh yang berusaha meyakinkan isterinya untuk
berperan agar pemerintah Belanda menyerahkan Irian Barat ke Republik Indonesia,
karena menganggapnya suatu hal yang lebih realistis. Barangkali, persetujuan
Presiden Abdurrahman Wahid bagi penggunaan nama Papua, belakangan, untuk
mengganti nama Irian Jaya adalah sebuah kekhilafan. Apalagi, sesungguhnya nama
Papua, menurut beberapa literatur orang Belanda sendiri, digunakan oleh Belanda
dalam konotasi tertentu yang sebenarnya secara historis dan sosiologis kurang
nyaman. Belanda memang senang memberi istilah dan penamaan-penamaan yang
merendahkan penghuni negeri jajahannya, semisal julukan inlander. Di
Irian, mereka memberi suatu daerah dengan nama Keerom. Ini berasal dari kata
Belanda, keerom, yang berarti “balik haluan”. Maknanya, tak bisa
dipercaya. Salah seorang panglima perang OPM yang terkenal, Marthen Tabu (kini
almarhum)yang diasingkan ke Jakarta tahun 1980-an, berasal dari daerah Keerom.
DI ANTARA tujuh
pemberontakan itu, yang paling ekstrim di antara yang ekstrim, tak lain adalah
pemberontakan dalam rangkaian Peristiwa Madiun 1948 dan Peristiwa 30 September
1965, serta Pemberontakan DI/TII yang berlangsung berkepanjangan. Kita melihat,
pada garis ekstrim itu, PKI berada di ujung paling kiri, sementara DI/TII
berada di ujung paling kanan. Kedua kelompok peristiwa ini, ada dalam titik
fokus yang terkait dengan waktu per saat ini. Peristiwa 30 September 1965 yang
juga memiliki rangkaian sejarah dengan Peristiwa Madiun 1948, terjadi 47 tahun
lalu di akhir bulan September. Sedang memori tentang Peristiwa Pemberontakan
DI/TII terpicu oleh publikasi buku Fadli Zon yang diluncurkan tepat pada
tanggal yang sama dengan pelaksanaan eksekusi mati panglima tertinggi DI/TII
Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, 12 September 1962. (Beberapa sumber
menyebutkan bahwa sebenarnya nama Sekarmadji di depan nama Kartosoewirjo tak
lain adalah singkatan dari Sekar Maridjan, yang juga biasa diringkas sebagai
SM).
‘Pemutihan’ yang menguak
luka lama. Barangkali tak ada yang
‘terlalu’ salah dalam inisiatif Fadli Zon menerbitkan buku dengan 81 foto
dokumentasi hari-hari terakhir SM Kartosoewirjo, kecuali persoalan darimana
kolektor yang menjual foto-foto dokumentasi tersebut kepada Fadli,
memperolehnya. Jelas foto-foto tersebut bukan hasil pemotretan bebas, tetapi
pastilah pemotretan petugas institusi negara, dan dengan demikian merupakan
milik negara yang semestinya tak bisa diperjual-belikan secara bebas. Ini mirip
yang terjadi dengan Hashim Djojohadikoesoemo, adik Prabowo Subianto, ketika
membeli pusaka milik Keraton Solo di luar negeri, tapi ternyata hasil curian.
Namun terlepas dari itu,
bagaimanapun, publikasi tersebut sengaja atau tidak, telah menambahkan lagi
satu kesempatan bagi beberapa pihak untuk mencoba memutihkan apa yang dilakukan
Kartosoewirjo sejak Agustus 1949 sampai tertangkap di pertengahan 1962. Setelah
berlalunya waktu selama setengah abad, ada percobaan untuk memberi penggambaran
baru terhadap pemberontakan DI/TII –di Jawa Barat, Aceh, Kalimantan
Selatan dan Sulawesi Selatan– sebagai suatu perjuangan suci menegakkan Islam.
Padahal, dari sudut mana pun, itu suatu pemberontakan bersenjata bergelimang
darah yang tumpah secara sia-sia, bukan untuk agama melainkan untuk memenuhi
hasrat kekuasaan dengan pengatasnamaan agama.
Suatu upaya pemutihan
semacam itu, hanya akan menguak luka lama, sehingga perihnya terasa kembali,
teristimewa bagi para keluarga yang di masa lampau menjadi korban kekejian
DI/TII, khususnya di empat daerah Indonesia. Bayangkan bila kelompok pembunuh
yang menjagal dengan keji sanak saudara anda, tiba-tiba pada suatu waktu
dinobatkan sebagai pejuang-pejuang suci agama. Bagaimana rasanya?
Bila korban adalah
aparat militer, mungkin masih bisa diberi kalimat penghiburan bahwa itu adalah
risiko tugas, meskipun esensinya mereka tetap saja adalah korban. Dan lalu
bagaimana dengan korban yang berasal dari masyarakat biasa yang tidak terlibat
dengan ambisi kekuasaan para tokoh? Kalangan akar rumput kala itu siang malam
menjadi korban kekerasan berdarah, pembakaran kampung halaman, penjarahan harta
benda, penculikan perempuan anggota keluarga. Belum lagi peristiwa-peristiwa
penghadangan di jalan-jalan antar kota, terutama di Jawa Barat dan di Sulawesi
Selatan. Paling mengerikan, seperti yang banyak terjadi di Sulawesi Selatan,
anak buah Kahar Muzakkar memiliki kegemaran mengeksekusi orang dengan cara
menyembelih leher korban, layaknya menyembelih kambing. Sementara di kota-kota,
setiap saat bisa terjadi teror penggranatan, di Pasar Malam sampai kenduri
penduduk, bukan hanya terhadap Presiden Soekarno.
Pada masa itu di
Sulawesi Selatan, praktis ekonomi tiga perempat lumpuh karena jalur
transportasi antar kota dan antar wilayah dalam propinsi betul-betul tidak
aman. Bila masyarakat ada keperluan mendesak, ke daerah pedalaman atau
sebaliknya ke kota kabupaten atau propinsi, biasanya mereka ikut dalam konvoi
kendaraan dengan pengawalan tentara. Jarak 200 kilometer saja harus ditempuh
3-4 hari oleh konvoi yang maju beringsut-ingsut. Setiap minggu pasti terjadi
penghadangan oleh pasukan DI/TII, setidaknya dua kali, bahkan bisa setiap hari.
Satu konvoi bisa dihadang lebih dari satu kali. Dalam penghadangan yang
berhasil, para korban yang mati dipreteli harta bawaannya, sampai kepada
mengambil gigi emas dengan mencabut giginya sekalian. Laki-laki yang masih
hidup umumnya dihabisi. Perempuan tua biasanya dibiarkan hidup setelah
menyerahkan harta benda dan dicabut gigi emasnya lengkap dengan akar gigi,
begitu saja menggunakan tang (atau catut kakaktua besi). Anak-anak diculik
untuk dibesarkan sebagai pengikut, dan para perempuan muda dibawa serta masuk
hutan untuk dijadikan isteri.
Lalu bagaimana mungkin
itu semua disebutkan sebagai suatu perjuangan suci? Kalau nama Islam
dibawa-bawa sebagai pembenaran, memangnya sebagian terbesar korban itu bukan
penganut Islam? Bukankah sembilan dari sepuluh rakyat Indonesia adalah penganut
Islam?
Apa yang dilakukan oleh
tokoh-tokoh DI/TII di masa lampau, tentu saja bukan suatu tanggungjawab hukum
dan tanggungjawab sejarah yang terwariskan kepada turunan mereka. Meskipun
demikian, kepada para putera-puteri SM Kartosoewirjo, putera-puteri Daud
Beureuh, putera-puteri Ibnu Hadjar dan putera-puteri Kahar Muzakkar serta
putera-puteri tokoh-tokoh DI/TII lainnya, rasanya kita bisa menitip pesan
moral, sudilah untuk mempertimbangkan perasaan keluarga para korban ketika
berbicara tentang kiprah orangtua mereka di masa lampau, apalagi mengatakannya
seakan-akan itu bukan suatu kesalahan dan bahkan mengesankan orangtua mereka
adalah korban negara.
Ucapan salah seorang
putera Kartosoewirjo, Sardjono, bahwa dirinya tidak memiliki dendam sejarah
–“Sudah terlalu lama, 50 tahun, sudah beda generasi”– seperti yang dikutip
dalam media sosial, adalah bijak. Tetapi sebaliknya, sikap beberapa keturunan
tokoh DI/TII yang menerjunkan diri dalam gerakan-gerakan baru menuju
pembentukan Negara Islam di Indonesia, mengulangi kiprah para orang tua mereka,
adalah keliru. Pelajari dan cermati sejarah, jangan memanipulasi sejarah untuk
memutihkan sesuatu yang hitam dalam suatu bingkai sentimen. Apalagi mengulangi
kekeliruan yang sama. Masyarakat sudah belajar melupakan, itu sudah menjadi
semacam pemaafan sejalan dengan arus pusaran waktu. Jangan buat luka baru di atas
luka lama.
Barangkali bagi Fadli
Zon, juga perlu dititipkan pesan agar saat asyik ikut menyusun puzzle
sejarah, hendaknya cermat dan berhati-hati dalam ‘memuji’ tokoh kekerasan dalam
sejarah seperti SM Kartosoewirjo. Apresiasi anda yang berlebihan terhadap
pelaku kekerasan masa lampau, bila keluar dari takaran, bisa melukai perasaan
keluarga korban peristiwa, walaupun niat anda baik dalam konteks menambah
referensi kebenaran sejarah.
Kutub Tujuh Pemberontakan di Indonesia: Di Ujung Kiri
PKI, di Ujung Kanan DI/TII (2)
PADA KUTUB peristiwa
pemberontakan yang lain, terkait Peristiwa 30 September 1965 –maupun Peristiwa
Madiun 1948– yang melibatkan nama Partai Komunis Indonesia (PKI), pun
diperlukan cara memandang yang selain cermat juga bijak. Terutama mengenai
dimensi kekerasan dan kejahatan kemanusiaan dalam skala besar-besaran yang
terjadi dalam peristiwa, serta, siapa saja para pelaku kejahatan kemanusiaan
tersebut sesungguhnya. Bingkai dasar cara memandangnya pun haruslah kebenaran
sepenuhnya dengan sebanyak-banyaknya keadilan.
PEMUDA RAKYAT PKI DI
ATAS TRUK DI TANGERANG, DIKAWAL TENTARA MENUJU PENAHANAN. “Hal menarik lainnya,
adalah bahwa korban kejahatan kemanusiaan yang jatuh pada masa epilog itu,
tidak melulu adalah anggota atau simpatisan PKI, meskipun harus diakui bahwa
korban mayoritas adalah memang dari kelompok tersebut”. (dokumentasi
asiafinest)
Di wilayah abu-abu,
bukan hitam-putih. Bila diperbandingkan,
Peristiwa 30 September 1965 lebih complicated daripada rangkaian
pemberontakan DI/TII yang lebih hitam putih. Proses penyelesaian DI/TII lebih
tuntas, baik secara politis, militer maupun secara hukum. Pemberontakan DI/TII
di Kalimantan Selatan selesai akhir 1959 dengan tertangkapnya Ibnu Hadjar. Hampir
3 tahun setelahnya, masalah DI/TII di Jawa Barat diakhiri dengan tertangkapnya
SM Kartosoewirjo 4 Juni 1962 melalui Operasi Pagar Betis yang dilancarkan
Divisi Siliwangi bersama rakyat. Kemudian, SM Kartosoewirjo diadili Mahkamah
Militer dan dijatuhi hukuman mati yang eksekusinya dilaksanakan 12 September
1962 di Kepulauan Seribu di utara pantai Jakarta. Pemberontakan DI/TII di Aceh
selesai setelah Daud Beureueh memenuhi seruan pemerintah untuk kembali ke
masyarakat pada tahun 1962.
Terakhir dalam rangkaian
ini adalah penyelesaian DI/TII di Sulawesi Selatan yang tercapai setelah Kahar
Muzakkar tertembak mati oleh Kopral Satu Ili Sadeli dari Batalion 330 Siliwangi
dalam suatu penyergapan dinihari 4 Februari 1965. Beberapa pengikut Kahar
secara berangsur-angsur telah lebih dulu kembali ke pangkuan ibu pertiwi
memenuhi seruan pemerintah, atau menyerah ketika operasi militer yang
dilancarkan makin ketat. Dalam operasi fase akhir yang mengikutsertakan pasukan
dari Divisi Siliwangi, pola operasi pagar betis juga diterapkan. Rakyat di
berbagai wilayah operasi, berpartisipasi dengan cukup antusias. Ini mematahkan
mitos bahwa karena rakyat Sulawesi Selatan sangat religius maka mereka
mendukung perjuangan Kahar Muzakar yang ingin membangun Negara Islam Indonesia.
Fakta kekejaman pasukan Kahar selama belasan tahun –antara 1951 hingga awal
1965– menjadi faktor hilangnya segala peluang dukungan. Menurut catatan, Kahar
Muzakkar masuk hutan sejak 16 Agustus 1951 karena kekecewaan pribadi terkait
penataan Corps Tjadangan Nasional (CTN), namun baru memproklamirkan diri
bergabung Negara Islam Indonesia 7 Agustus 1953. Sebelum menggunakan bendera
Islam, Kahar Muzakkar sempat terombang-ambing dalam pilihan ideologi komunis
atau ideologi Islam sebagai dasar perjuangan.
Peristiwa 30 September
1965 sendiri adalah peristiwa yang berlangsung dalam waktu ringkas, namun
memiliki prolog dan epilog yang panjang dan berkepanjangan dalam skala tahunan.
Nuansa peristiwanya tidak hitam-putih, melainkan lebih banyak bergerak di
wilayah abu-abu. Keterlibatan beberapa pimpinan PKI dan sejumlah anggota partai
tersebut dalam rangkaian peristiwa di hari-hari sekitar tanggal 30 September
1965, adalah nyata. Akan tetapi keterlibatan tokoh lain di luar PKI dalam
rangkaian peristiwa, berada di wilayah abu-abu. Pada wilayah abu-abu itu
terdapat nama-nama tokoh mulai dari Dr Soebandrio sampai Soekarno –bahkan
Jenderal Soeharto sendiri– selain nama-nama institusi seperti Angkatan Udara
Republik Indonesia di bawah Laksamana Madya Angkatan Udara Omar Dhani (Kepangkatan
Laksamana Udara tersebut belakangan dirubah menjadi Marsekal Udara). Beberapa
kesatuan militer lainnya dari berbagai angkatan, termasuk Resimen Pelopor
Angkatan Kepolisian RI di bawah Anton Soedjarwo, juga ada di wilayah abu-abu.
Sementara itu, Korps Komando (KKO) Angkatan Laut di bawah Letnan Jenderal KKO
Hartono lebih terhubung sebagai pembela Soekarno daripada aspek lainnya dalam
peristiwa.
KEKERASAN dan kejahatan
kemanusiaan terjadi baik pada masa prolog, saat peristiwa terjadi, maupun pada
masa epilog. Tetapi harus diakui bahwa secara kuantitatif, kejahatan
kemanusiaan paling dahsyat, keji dan intensif terjadi pada babak epilog.
Disebutkan angka korban antara 500.000 sampai 3.000.000 jiwa, dengan mereka
yang dianggap pengikut PKI sebagai korban terbanyak, meski angka-angka itu
masih harus diteliti lebih jauh kebenarannya untuk memperoleh angka pasti yang
terdekat dari kenyataan sesungguhnya. Secara kualitatif, pada lain pihak,
pembunuhan yang dilakukan pelaku Gerakan 30 September 1965 terhadap 6 jenderal
dan 1 perwira pertama di Jakarta, serta pembunuhan 2 perwira menengah di
Yogyakarta, masuk dalam kategori keji.
Meski tak seintensif
yang terjadi di masa epilog, kekerasan politik dan kekerasan massa di masa
prolog, secara fisik ataupun mental, tak boleh dianggap tak ada artinya.
Rangkaian perampasan tanah dan teror kelompok yang dilakukan massa onderbouw
PKI dipedesaan maupun diperkotaan, bukan pelanggaran ringan. Selain merupakan
pelanggaran hukum, sekaligus juga merupakan pelanggaran hak azasi manusia.
Tercatat sejumlah peristiwa berdarah di masa prolog, seperti Peristiwa Bandar
Betsy, Peristiwa Kanigoro, Peristiwa Toraja dan sejumlah peristiwa serupa di
seluruh penjuru tanah air. Aksi-aksi itu merupakan pula pelajaran pertama
mengenai penggunaan kekuatan massa dalam pengobaran konflik di masyarakat dalam
konteks pertarungan politik. Belum lagi kekerasan non fisik, yang berupa
penistaan agama maupun kebengisan lontaran kata-kata sebagai teror mental dalam
praktek politik. Untuk itu kita pinjam beberapa catatan dalam buku “Titik
Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966” (Rum Aly, Kata Hasta Pustaka, 2006)
berikut ini.
Baik kalangan Islam
maupun penganut Kristen-Katolik “merasa amat tak nyaman dengan sikap permusuhan
yang ditunjukkan kaum komunis terhadap agama-agama yang ada”. Permusuhan dan
sikap sarkastis terhadap agama ditunjukkan terang-terangan. Paling banyak
dituturkan di antara perilaku anti agama yang ditunjukkan orang-orang komunis
adalah pertunjukan ketoprak sebuah organisasi kesenian PKI di Muntilan, yang
berkali-kali mempertontonkan lakon menghina agama. Salah satunya adalah lakon “Patine
Gusti Allah” atau Kematian Tuhan, dan lainnya yang secara
khusus ditujukan kepada orang Katolik yaitu “Paus Rabi” yang
artinya Paus Menikah. Untuk umat Islam, provokasi dilakukan melalui
pertunjukan-pertunjukan wayang kulit yang juga mengenai Kematian Tuhan.
Satu perilaku lainnya
yang menista Tuhan dan agama adalah yang sering dilakukan oleh guru-guru yang
berhaluan politik komunis di hadapan murid-murid di kelasnya. Dilakukan di
berbagai daerah dalam satu pola standar. Seringkali beberapa guru masuk ke satu
kelas (terutama) sekolah dasar, dan seorang di antaranya akan menyuruh
murid-murid berdoa kepada Tuhan memohon diberikan pinsil. Setelah berdoa, dan
pinsil-pinsil tak ‘datang’ juga, salah seorang guru lainnya kemudian menyuruh
murid-murid untuk bersama-sama meminta ibu atau pak guru memberikan pinsil.
Mereka lalu membagi-bagikan pinsil kepada para murid. Nah, kata mereka
kemudian, kalian sudah berdoa kepada Tuhan meminta pinsil, “apakah Tuhan
memberikan pinsil?”. Murid-murid menjawab, “Tidak”. Dan, “Kalian sudah minta
pinsil kepada guru, apakah kalian dapat pinsil?”. Murid-murid menjawab,
“Dapat”.
Dalam pergulatan
kekuasaan, sepanjang lima tahun sebelum Peristiwa 30 September 1965, PKI dan
organisasi-organisasi pendukungnya setapak demi setapak berhasil menempati
posisi kokoh di sisi Soekarno dan mewarnai dengan kuat –untuk tidak menyebutnya
mendominasi– kehidupan politik Indonesia. Hingga pertengahan tahun 1965, PKI
mengungguli kekuatan politik lainnya dalam pergulatan kekuasaan dengan sikap
ofensifnya yang mengalir bagaikan air bah yang tak kunjung surut. Bahkan PKI
berhasil menciptakan suatu tingkat suasana psikologis berupa ‘ketakutan’
kelompok politik lain untuk dikenakan ‘stigma’ komunisto phobia,
kontra revolusi, anti Nasakom, antek Nekolim (Neo Kolonialisme) dan
aneka tudingan ‘mengerikan’ lainnya, seperti kapitalis birokrat, setan kota,
setan desa dan sebagainya. Sementara dari lingkaran kekuasaan Soekarno sendiri
dengan mudah meluncur tudingan ‘mendongkel’ Pemimpin Besar Revolusi bila ada
yang bersikap sedikit kritis atau berbeda.
Itu semua menjadi andil
dalam penumpukan dendam sosial-politik yang menyebabkan ledakan kekerasan di
kemudian hari, khususnya di masa epilog Peristiwa 30 September 1965, yang
berlangsung di kwartal terakhir tahun 1965 dan tahun-tahun 1966-1967. Kekerasan
dengan kategori kejahatan kemanusiaan luar biasa di masa epilog, meliputi
pembunuhan-pembunuhan, pemerkosaan, penyiksaan fisik dan mental, serta
perampasan kemerdekaan dengan alasan ketertiban dan keamanan. Beberapa dari
pembunuhan dilakukan dengan cara keji, antara lain dengan pemenggalan kepala,
sehingga banyak ditemukan mayat tanpa kepala atau sebaliknya kepala tanpa tubuh
di sungai-sungai atau di tempat-tempat manapun.
Memerlukan kecermatan
pandang. Pembunuhan-pembunuhan
terjadi nyaris di seluruh penjuru Indonesia, namun ada beberapa daerah yang
sangat menonjol sebagai locus peristiwa, yakni Jawa Tengah, Jawa Timur
dan Bali di urutan atas. Daerah-daerah yang berada pada urutan berikut adalah
Sumatera Utara, Sumatera Selatan dan Sulawesi Selatan. Menarik bahwa Jawa Barat
tidak semenonjol seperti 6 propinsi lainnya itu. Menurut Dr Aminullah
Adiwilaga, ‘pembasmian’ berdarah atas massa pengikut PKI di Jawa Barat, telah
lebih dahulu dilakukan secara sistematis oleh DI/TII pada tahun-tahun
sebelumnya terutama di wilayah Priangan Timur. Angka-angkanya cukup massive
dengan cara-cara pembasmian yang cukup tidak manusiawi.
Hal menarik lainnya,
adalah bahwa korban kejahatan kemanusiaan yang jatuh pada masa epilog itu,
tidak melulu adalah anggota atau simpatisan PKI, meskipun harus diakui bahwa
korban mayoritas adalah memang dari kelompok tersebut. Sama menariknya adalah
bahwa belakangan ini, banyak pengungkapan tentang adanya jejak berdarah
jenderal pujaan perjuangan 1966, Letnan Jenderal Sarwo Edhie Wibowo, dalam
peristiwa pembasmian PKI di tahun 1965-1966. Apakah ini adalah pengungkapan
artifisial belaka, semata-mata karena sang jenderal adalah ayah mertua Jenderal
Susilo Bambang Yudhoyono yang banyak disorot gerak dan pola kepemimpinannya
sebagai Presiden RI belakangan ini?
Kutub Tujuh Pemberontakan di Indonesia:
Di Ujung Kiri PKI, di Ujung Kanan DI/TII (3)
PENEMPATAN nama Letnan Jenderal Sarwo Edhie Wibowo dalam suatu pemaparan
mengenai apa yang disebut Misteri 1965 yang diberi semacam judgement
sebagai “Jejak Berdarah Sang Pembasmi”, seperti dilakukan Majalah
Berita Mingguan Tempo (edisi 7-13 November 2011), misalnya, tentu saja
menarik perhatian. Apa yang disorot Tempo hampir setahun lalu
itu, agaknya masih akan senantiasa menjadi sebagian bahan sorotan, terutama
seperti saat ini, menjelang ‘seremoni’ tetap ‘bulan kenangan dan ingatan’
tentang Peristiwa 30 September 1965. Apalagi, saat ini pada masa-masa menjelang
2014, anak dan menantu yang ditinggalkan Sarwo Edhie, juga berada dalam
sorotan, ketika dianggap sedang mempersiapkan diri membangun suatu dinasti
politik dan kekuasaan. Puterinya, Ani Yudhoyono, isteri Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono, maupun puteranya Letnan Jenderal Pramono Edhie Wibowo yang kini
menjabat sebagai KSAD, disebut-sebut namanya untuk kursi Presiden RI tahun
2014. Sementara anak dan menantunya yang lain, maupun cucunya, semua serba
berkecimpung dalam dunia politik.
TAHANAN PKI DI BALIK JERUJI, DI SEKITAR JAKARTA. “Di ibukota Jakarta dan
sekitarnya, penangkapan yang dilakukan memang terutama terhadap anggota
atau simpatisan PKI dan organisasi onderbouwnya. Tetapi cukup banyak anggota
masyarakat bukan pengikut PKI yang ikut tertangkap dan akhirnya hilang entah
kemana selama bertahun-tahun bahkan untuk seterusnya. Kenapa ini bisa
terjadi?”. (dokumentasi asiafinest)
Apakah pembentukan dinasti itu adalah wasiat Sarwo Edhie? Sejumlah Manggala
BP-7 yang menjadi lingkungan kegiatannya yang terakhir, mengatakan selama
bersama sang jenderal, tak sekalipun mereka mendengar Sarwo Edhie membicarakan
soal yang satu itu. Juga, tak pernah mendengar adanya rancangan seperti itu
semasa Sarwo Edhie masih hidup. Ini mirip dengan almarhum Soekarno, semasa
hidupnya tak sekalipun ia menyebut-nyebut suatu rencana pembentukan dinasti.
Akan tetapi meskipun Sarwo Edhie tak ikut ‘bertanggungjawab’ dalam pembentukan
dinasti semacam itu, karena itu adalah urusan generasi kedua dari keluarga
besarnya, namanya tetap disebut-sebut setiap kali soal itu disorot.
Majalah Tempo sejauh ini masih tergolong dalam kategori media yang
bisa dipercaya di antara banyak media yang tak lagi bisa dipercaya sepenuhnya.
Meskipun, Tempo kerap pula tergelincir tidak akurat dan kurang cermat
dalam melaporkan beberapa peristiwa. Mereka yang percaya kepada laporan Tempo,
meskipun majalah tersebut tak terlalu definitif dalam judgement
terkait peran Jenderal Sarwo Edhie dalam Misteri 1965 tersebut, bisa goyah
mengenai integritas sang jenderal. Selama ini Letnan Jenderal Sarwo Edhie
Wibowo senantiasa digolongkan sebagai jenderal idealis 1966 bersama Letnan
Jenderal HR Dharsono dan Letnan Jenderal Kemal Idris. Pada sisi lain tetap
terdapat kepercayaan yang mendalam, seperti yang dikatakan Letnan Jenderal Rais
Abin –juga kepada Tempo– bahwa Sarwo Edhie Wibowo adalah pribadi yang
lurus, jujur, apa adanya dan tidak munafik. Beberapa orang yang mengenalnya
secara dekat, menambahkan, Sarwo adalah pribadi tegas dan memiliki integritas
tinggi. Ini telah terbukti dalam berbagai sepak terjang sang jenderal, dari
tahun 1965 sampai akhir hayatnya 9 November 1989. Apakah seseorang dengan
karakter seperti itu, bisa menjadi seorang pemimpin pasukan maniak yang
membabi-buta melakukan kejahatan kemanusiaan tanpa alasan? Semua ini adalah
sesuatu yang menarik untuk dibahas lebih lanjut (Baca “Kisah Jenderal Sarwo
Edhie Wibowo dan RPKAD 1965-1966”, dalam sociopolitica
mendatang).
TERLEPAS dari soal peran Letnan Jenderal Sarwo Edhie, lekuk-liku peristiwa
dalam masa epilog Peristiwa 30 September 1965, memang adalah sesuatu yang amat
rumit. Tak gampang mengambil kesimpulan mengenai kebenaran peristiwa.
Dibutuhkan ketekunan dan kecermatan luar biasa untuk menelusuri kebenaran dalam
rangkaian peristiwa. Dan justru itu yang belum berhasil dilakukan hingga kini,
oleh siapa pun. Upaya yang dilakukan Komnas HAM beberapa waktu terakhir ini,
pun masih jauh dari kriteria ketekunan dan kecermatan itu. Dari pernyataan
Komnas HAM 23 Juli 2012 tentang “hasil penyelidikan pelanggaran HAM yang berat
Peristiwa 1965-1966”, terlihat betapa masih terbatas dan tak memadainya
penyelidikan yang telah dilakukan untuk suatu peristiwa yang begitu besar dan
luas seperti itu. Narasumber yang diwawancarai terbatas dari kelompok saksi
korban, yang secara kuantitatif terasa sangat tak memadai, dan tak ada saksi
kategori lain. Diperlukan penyelidikan yang lebih luas dengan melibatkan
berbagai institusi negara maupun masyarakat, serta perguruan tinggi sebagai
lembaga yang masih paling dipercaya oleh masyarakat. Keikutsertaan kalangan
perguruan tinggi bisa lebih menjamin kecermatan pandang dan
kesimpulan-kesimpulan berkualitas dalam konteks kebenaran.
Kesimpulan-kesimpulan yang sumir hanya akan menambah kerumitan persoalan dan
menimbulkan kesalahpahaman baru.
Malapetaka dari sikap ‘mendahului atau didahului’. Penyelidikan
Komnas HAM tentang “Peristiwa 1965-1966”, seperti yang telah dilakukan sejauh
ini, tak mungkin akan berguna dalam menemukan kebenaran sepenuhnya dari tragedi
kemanusiaan pada masa epilog Peristiwa 30 September 1965 tersebut. Selain
terpaku kepada sindrom korban, para penyelidik Komnas HAM juga hanya membatasi
diri ‘memperjuangkan’ nasib dan mencari keadilan bagi massa pengikut PKI.
Memang merupakan fakta bahwa korban terbanyak adalah massa pengikut PKI. Presiden
Soekarno dalam pidatonya 18 Desember 1965, menggambarkan betapa
“jenazah-jenazah dari Pemuda Rakyat, BTI, orang-orang PKI, atau simpatisan PKI
yang disembelih, dibunuh, kemudian dibiarkan saja di pinggir jalan di bawah
pohon, dihanyutkan dan tidak ada yang mengurusnya”. Sayang Soekarno tidak
menyebutkan bahwa sebenarnya tidak sedikit korban juga berasal dari kalangan
non-PKI.
Dengan mengungkap fakta korban di sisi PKI saja, berarti Komnas HAM pun
terjebak dalam sikap membela hanya separuh dari kebenaran. Padahal yang
dibutuhkan dalam kaitan ini adalah kebenaran sepenuhnya. Kebenaran sepenuhnya
penting untuk diketahui karena sifat dan jalannya peristiwa kejahatan
kemanusiaan di masa epilog Peristiwa 30 September 1965 ini, khususnya yang
terjadi pada tahun 1965-1966, berbeda-beda dari satu daerah ke daerah lainnya.
Pelaku-pelakunya pun dari kelompok dan pihak yang berbeda-beda.
Di ibukota Jakarta dan sekitarnya, penangkapan yang dilakukan memang
terutama terhadap anggota atau simpatisan PKI dan organisasi onderbouwnya.
Tetapi cukup banyak anggota masyarakat bukan pengikut PKI yang ikut tertangkap
dan akhirnya hilang entah kemana selama bertahun-tahun bahkan untuk seterusnya.
Kenapa ini bisa terjadi? Pertama-tama tentu karena ketidakcermatan dalam ketergesa-gesaan
satuan-satuan militer yang melakukan penangkapan. Kedua, satuan-satuan yang
melakukan penangkapan tak selalu jelas dari ‘pihak’ mana. Seperti diketahui,
pada saat chaos pada tahun 1965, banyak satuan militer di Jakarta
berbeda-beda orientasi keberpihakannya. Ketiga, seringkali seorang anggota PKI
yang ditangkap ketika dipaksa untuk menunjuk siapa teman-temannya, main tunjuk
saja, misalnya ke tetangganya yang diketahuinya justru anti PKI atau setidaknya
kebetulan tak disenanginya. Main tunjuk ini, juga dilakukan oleh anggota
masyarakat yang menggunakan kesempatan untuk mencelakakan orang-orang yang tak
disenanginya karena alasan pribadi. Hal serupa, sebenarnya juga terjadi di
berbagai daerah lainnya.
Sementara itu di Jawa Tengah, begitu Letnan Kolonel Untung mengumumkan
terbentuknya Dewan Revolusi di Jakarta, sejumlah perwira berhaluan komunis di
Divisi Diponegoro mengambilalih komando dari tangan Panglima Diponegoro, Mayor
Jenderal Surjo Sumpeno dan melakukan penangkapan-penangkapan. Di daerah ini,
berbeda dengan yang terjadi di Jawa Timur, massa PKI, terutama Pemuda Rakyat
dan BTI memilih sikap mendahului daripada didahului. Membantai atau dibantai.
Mereka melakukan kekerasan-kerasan berdarah kepada unsur-unsur non-PKI,
terutama terhadap Pemuda Marhaenis PNI dan Pemuda Ansor NU. Tim Peneliti
Universitas Gajah Mada dan Arthur Dommen melaporkan bahwa sejak awal Oktober
1965, PKI Boyolali dan Klaten mendahului untuk bertindak. “Mereka melakukan
pembantaian besar-besaran dalam skala ratusan korban, yang mengakibatkan pula
ratusan tokoh PNI dan NU serta massa mereka yang mencapai belasan ribu orang
melarikan diri” (Rum Aly, “Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1965”).
Lebih jauh dipaparkan, bahwa dapat dikatakan suasana dibantai atau membantai
ini berlangsung sepanjang Oktober bahkan sampai Nopember, dengan korban cukup
banyak pada kedua belah pihak. Menurut laporan penelitian itu, massa PKI juga
sempat melakukan ‘kup’ atas camat Manisrenggo dan merebut senjata yang ada di
kantor kecamatan. Di bagian lain wilayah Jawa Tengah, ketika orang-orang PKI
menculik dan menawan banyak tokoh-tokoh PNI dan anggota organisasi non-komunis
lainnya, maka terjadi pula upaya membebaskan dengan menyerbu desa-desa basis
PKI, dengan meminta bantuan tentara. Karena adanya suasana balas membalas itu,
maka angka korban yang jatuh juga tinggi. Belum lagi bahwa di tengah suasana
saling mencurigai antar desa dan antar penduduk dalam satu desa, kerapkali
terjadi salah bantai, dan tak kurang pula ekses berupa pemanfaatan situasi balas
dendam lama di antara penduduk untuk soal lain sebelumnya yang sama sekali tak
ada kaitannya dengan masalah ideologi dan politik. Situasi inilah yang menjadi
salah satu alasan pasukan RPKAD (kini, Kopassus) di bawah Brigjen Sarwo Edhie,
menawarkan pelatihan militer bagi sejumlah organisasi pemuda bukan PKI, yang
dipusatkan di Salatiga.
Suasana balas berbalas ini makin meningkatkan kemarahan semua pihak yang
terlibat dalam rangkaian malapetaka berdarah ini. Kedua belah pihak sama
kejamnya dalam membasmi lawan. Namun pada akhirnya, massa PKI lebih terpojok,
sebagian besar terbunuh dan sisanya lari bersembunyi ke daerah-daerah hutan
pegunungan. Mereka ini kemudian pada akhir 1967 diorganisir oleh tokoh-tokoh
PKI yang belum tertangkap, menjadi apa yang mereka sebut compro
(comite proyek) atau daerah basis untuk melakukan perlawanan bersenjata. Ada 4 compro
di pegunungan, yakni compro Merapi-Merbabu, compro Sindoro
Sumbing, compro Muria dan compro Slamet, ditambah compro
kota. Gerakan bersenjata ini berlangsung hingga 1968.
Tercatat pula keterlibatan anggota-anggota KKO (kini, Korps Marinir) sebagai
perorangan dalam berbagai peristiwa di Jawa Tengah ini. Keterlibatan ini,
seperti yang pernah dituturkan seorang perwira KKO, Kolonel Soejoe, adalah
karena faktor emosional semata akibat jatuhnya anggota keluarga mereka dalam
gelombang mass murder yang terjadi. Kebetulan bahwa keluarga
mereka yang dibantai secara membabi-buta itu adalah dengan tuduhan terlibat PKI
–meskipun sebenarnya terselip pula kejadian sebaliknya, menjadi korban
pembunuhan oleh orang-orang PKI. Keterlibatan anggota-anggota KKO ini sempat
menjelma menjadi suatu isu nasional, yang menambah ketegangan antara KKO di
bawah Panglima KKO Letnan Jenderal Hartono yang pro Soekarno dengan TNI
Angkatan Darat pendukung Jenderal Soeharto. Sementara itu, anggota-anggota KKO
yang keluarganya belum menjadi korban, namun terancam oleh tuduhan terkait PKI,
terlibat dalam upaya-upaya membela dan melindungi keluarga mereka itu dan
kerapkali dengan bantuan teman-teman satu korps sebagai tanda solidaritas,
tanpa pertimbangan politis apapun sebenarnya. Saat melakukan upaya perlindungan
itulah para anggota KKO ini banyak terlibat bentrokan dengan satuan-satuan
Angkatan Darat, terutama dengan pasukan RPKAD yang bertugas melakukan
penyisiran terhadap PKI di Jawa Tengah.
Kutub Tujuh Pemberontakan di Indonesia: Di Ujung Kiri PKI, di Ujung Kanan DI/TII (4)
SASARAN utama provokasi dan kekerasan oleh massa PKI di Jawa Tengah pada
masa prolog Peristiwa 30 September 1965, adalah para pengikut PNI. Padahal, di
tingkat nasional, PNI dan PKI seolah-olah terkesan kuat sebarisan dalam barisan
Nasakom. Di tubuh PNI kala itu PKI bahkan berhasil ‘menanam’ seorang kadernya,
Ir Surachman, dalam posisi penting sebagai Sekertaris Jenderal DPP PNI,
mendampingi Ketua Umum Ali Sastroamidjojo SH. Itu sebabnya kemudian dalam
pergolakan politik tahun 1966 ada penamaan PNI Asu, untuk membedakan dengan
faksi PNI Osa-Usep yang menolak pengaruh unsur kom di tubuhnya.
AIDIT DAN POSTER PKI. “Membunuh itu, bisa mencandu, menimbulkan ekstase.
Apalagi bila para korban tak berdaya meratap memohon, itu akan merangsang para
eksekutor untuk lebih menikmati keperkasaan kekuasaannya. Pada beberapa
kalangan massa organisasi Islam di sana, pembasmian anggota PKI yang dianggap
anti Tuhan, bahkan diyakini sebagai bagian tugas membela agama. Bagi PKI ini
menjadi antiklimaks, setelah sebelumnya di masa Nasakom sangat agresif
menjalankan teror mental terhadap lawan politiknya di seluruh Indonesia”.
(download anam78.blogspot.com/kompasiana.com)
Kenapa pengikut PNI di Jawa Tengah menjadi sasaran utama PKI, tak lain
karena pada waktu itu, pengikut-pengikut PNI di Jawa Tengah dominan dalam
jabatan-jabatan pemerintahan daerah, dominan dalam dunia usaha dan memegang
kepemilikan terbesar dalam pertanahan. Sedangkan sasaran politik PKI adalah
pemerataan kepemilikan tanah dengan cara radikal, dan untuk jangka panjang
pemerataan kekayaan. Secara ideal, pemerataan tentulah baik, namun bila
dilakukan dengan cara paksa dan radikal melalui kekerasan, sama artinya dengan
penjarahan. Di Jawa Timur, sementara itu, para haji pengikut NU lah yang menjadi
pemilik areal terluas tanah-tanah pertanian maupun dalam berbagai bentuk
penggunaan tanah lainnya. Para pengikut NU juga unggul dalam kehidupan ekonomi
lainnya. Maka, di provinsi tersebut, aksi radikal massa PKI dalam pertanahan
dan perang terhadap apa yang mereka namakan ‘setan desa’ lebih tertuju kepada
para pengikut NU.
Bisa dipahami bila kemudian pada masa epilog, saat terjadinya pembalasan
dendam sosial politik di Jawa Timur, pelaku terdepan dalam peristiwa tersebut
adalah massa NU, khususnya Barisan Ansor Serba Guna dari Pemuda Ansor. Kita
ingin kembali mengutip pemaparan dalam buku “Titik Silang Jalan Kekuasaan
Tahun 1966” –yang untuk sebagian pernah dimuat di blog sociopolitica
dalam serial “Malapetaka Sosiologis Indonesia”, Oktober 2009– berikut
ini.
Berbeda dengan Jawa Tengah dan Yogya, keadaan yang agak kurang imbang
terjadi di Jawa Timur. Kecuali di beberapa daerah di mana massa PKI mendahului
bersikap agresif dan melakukan pembantaian, pada umumnya mereka lah yang lebih
banyak mengalami pembantaian. Di Banyuwangi, massa PKI mendahului melakukan
penculikan dan pembunuhan, tetapi sebaliknya di sekitar Malang mereka lah yang
menjadi sasaran. Terjadi pula suatu keadaan khusus di suatu daerah yang
pendukung PKInya lebih dominan. Sejumlah anggota Pemuda Marhaenis dan anggota
Banser dipaksa menjadi tameng luar untuk pertahanan desa mereka dengan
pengawasan Pemuda Rakyat. “Suatu ketika, ada serangan pembalasan atas desa
tersebut, dan dua orang anggota Banser yang dijadikan tameng tertawan, lalu
‘diadili’. Seorang anggota Banser dari pihak yang menawan, dengan sikap ‘darah
dingin’ menebas leher salah satu dari tawanan itu. Temannya yang lain dengan
menangis-nangis memberitahukan bahwa mereka sebenarnya adalah anggota Banser
yang dijadikan tameng. Setelah dilakukan pengecekan, memang ternyata kedua
tawanan itu adalah anggota Banser, tetapi bagaimana pun juga kepala yang telah
terpancung itu tak dapat direkatkan lagi”.
Seorang siswa SMA, putera seorang penegak hukum yang bertugas di Malang,
Sjahrul –yang kemudian kuliah di ITB dan menjadi aktifis mahasiswa sejak tahun
1967– mengisahkan betapa di pagi hari merupakan pemandangan biasa bila ada
kepala manusia hasil pembantaian tergantung di pagar kantor ayahandanya.
Keikutsertaan sebagai pembantai bahkan kerapkali dianggap semacam tugas suci
oleh beberapa anak muda belasan tahun. “Seorang teman sekolah saya di SMA,
kerap bercerita, mengenai pengalamannya beroperasi pada malam sebelumnya”.
Kelakuan para remaja yang terbawa arus melakukan pembantaian tampak berangsur-angsur
menjadi tidak wajar. Sering ada pengakuan dan dugaan bahwa pembunuhan dilakukan
karena diperintah, oleh tentara misalnya, tetapi menurut Sjahrul cukup banyak
yang melakukannya semata-mata karena terbawa arus saja dan akhirnya terbiasa
melakukan tanpa disuruh.
Membunuh itu, bisa mencandu, menimbulkan ekstase. Apalagi bila para korban
tak berdaya meratap memohon, itu akan merangsang para eksekutor untuk lebih
menikmati keperkasaan kekuasaannya. Pada beberapa kalangan massa organisasi
Islam di sana, pembasmian anggota PKI yang dianggap anti Tuhan, bahkan
diyakini sebagai bagian tugas membela agama. Bagi PKI ini menjadi antiklimaks,
setelah sebelumnya di masa Nasakom sangat agresif menjalankan teror mental
terhadap lawan politiknya di seluruh Indonesia. Di Jawa Timur, seringkali
dikisahkan bahwa pada masa itu, setiap hari Kali Brantas penuh dengan tubuh
hanyut manusia yang telah diberantas. Persis yang terjadi dengan Bengawan Solo
di Jawa Tengah. Kasat mata dan menurut perkiraan, jumlah korban yang jatuh di
Jawa Timur jumlahnya melebihi jumlah korban peristiwa-peristiwa di Jawa Tengah.
Hasutan dan menutup jejak. Seperti halnya di Jawa Tengah
dan Jawa Timur, di Bali orang-orang PKI juga ‘mengakumulasi’kan sejumlah
tindakan yang menimbulkan keirihatian dan dendam sejak sebelum Peristiwa 30
September 1965. Pusat Studi Pedesaan Universitas Gadjah Mada, mencatat terjadi
sejumlah aksi kekerasan yang dilakukan anggota-anggota PKI di pedesaan-pedesaan
Bali sejak Januari 1965. Di Buleleng tercatat beberapa aksi sepihak, seperti
misalnya yang dilakukan Wayan Wanci dan kawan-kawannya dari BTI. Ia menyewa
tanah dari Pan Tablen, dan suatu ketika sewa menyewa itu dihentikan. Lalu 250
massa BTI menduduki kembali tanah itu, pada 8 Januari 1965, disertai aksi
penghancuran rumah Pan Tablen.
Aksi sepihak lainnya terjadi 14 Januari, antara seorang menantu yang anggota
BTI dengan mertuanya. Ketika mertua meminta kembali tanah yang dipinjamkan,
sang menantu dan kawan-kawannya dari BTI melakukan pengrusakan atas tanaman
jagung di atas tanah tersebut, lalu menduduki dan menggarap sawah itu.
Aksi-aksi sepihak yang serupa terjadi berkali-kali, dan biasanya BTI berhadapan
dengan para pemilik yang kebetulan anggota PNI. Dalam salah satu insiden soal
tanah, 4 Maret 1965, beberapa anggota PKI menyerang beberapa anggota PNI dengan
parang dan senjata tajam lainnya.
Tetapi, serangan pembalasan tak segera terjadi setelah Peristiwa 30
September 1965, kendati berita arus pembalasan yang terjadi di Jawa Tengah dan
Jawa Timur telah sampai ke Bali. Baru pada bulan November mulai muncul
‘hasutan’, terutama dari tokoh-tokoh PNI yang memiliki dendam. Tekanan utama
waktu itu memang bukanlah pada soal-soal ideologis, meskipun perbedaan
ideologis adalah satu faktor, melainkan kepada rivalitas pengaruh dan
kepentingan manusiawi yang sudah laten antara pengikut-pengikut PKI dan PNI
seperti digambarkan AA Oka Mahendra.
PNI secara turun temurun dominan di Bali. Golongan bangsawan dan pemuka
masyarakat umumnya pendukung PNI, sehingga dengan pengaruh mereka PNI memiliki
massa pengikut yang besar jumlahnya di Bali. Tetapi PKI di Bali sementara itu
berhasil memasuki celah-celah kesenjangan dalam kehidupan sosial, terutama
dalam mendekati rakyat pedesaan Bali yang menjadi petani dengan kepemilikan
tanah yang kecil atau samasekali tidak memiliki tanah. Sebenarnya selama
puluhan tahun ada harmoni antara kaum bangsawan pemilik tanah dengan para
petani, melalui semacam sistim bagi hasil yang adil. Selain itu, setiap kali
ada perselisihan, mekanisme adat dan peranan kaum agamawan senantiasa berhasil
menjadi media penyelesaian. Akan tetapi kehadiran yang lebih menonjol dan
perubahan perilaku politik PKI pada tahun-tahun terakhir menjelang Peristiwa 30
September 1965, telah menghadirkan sejumlah perubahan. Beberapa petani
menunjukkan sikap yang lebih agresif.
Faktor lain yang membuat PKI menonjol di Bali adalah bahwa dalam
Nasakomisasi yang dijalankan oleh Gubernur Suteja –seorang pendukung utama
Soekarno dan punya kedekatan dengan PKI– PKI mendapat keleluasaan berlebihan.
Dalam suasana Nasakomisasi, banyak tindakan PKI, dipimpin Tio Kandel sebagai
Ketua CDB, seperti aksi-aksi sepihak dalam masalah pertanahan, bisa berlangsung
bebas tanpa penindakan. Apalagi setelah Panglima Kodam Udayana Brigjen Supardi
yang anti PKI, digantikan pada tahun 1963 oleh Brigjen Sjafiuddin yang sangat
patuh terhadap Soekarno. Isteri Safiuddin punya kedekatan khusus dengan
Gerwani. Adalah menarik, meskipun secara horizontal di lapisan bawah massa PNI
banyak berbenturan dengan massa PKI, dalam banyak hal para elite PNI di Bali
bisa berdampingan nyaman dengan tokoh-tokoh PKI. Bahkan terjadi beberapa
jalinan kepentingan bersama yang menguntungkan, termasuk secara ekonomis. Ada
beberapa pengusaha yang kebetulan keturunan China, selain dekat dengan tokoh-tokoh
PKI juga punya jalinan dengan tokoh-tokoh PNI, sehingga terjadi pertalian di
antara ketiganya. Meskipun, sebaliknya dalam beberapa kasus lainnya terjadi
pula persaingan kepentingan ekonomi dan politik yang tajam di antara
tokoh-tokoh PNI tertentu dengan tokoh-tokoh PKI di Bali.
PKI nyaman bersama Brigjen Sjafiuddin. Namun, setelah Peristiwa 30 September
1965 terjadi, pada pertengahan Oktober sewaktu arah angin dan situasi menjadi
lebih jelas, dengan gesit Brigjen Sjafiuddin melancarkan operasi pembersihan
terhadap mereka yang dianggap terlibat PKI, terutama internal Kodam Udayana.
Akan tetapi, sejauh yang dapat dicatat, tidaklah terlalu jelas ‘kategori’
sebenarnya dari mereka yang ditangkap, karena sebaliknya banyak yang menurut
perkiraan umum akan ditangkap ternyata ‘lolos’ atau diloloskan. Belum lagi,
sejumlah kasus salah tangkap.
Menurut Soe-Hokgie, pemicu kekerasan yang kemudian terjadi di Bali adalah
hasutan-hasutan sejumlah tokoh. Seorang tokoh PNI menghasut orang-orang untuk
melakukan aksi kekerasan dengan mengatakan Tuhan menyetujui pembantaian
terhadap orang-orang PKI, dan bahwa hukum tidak akan mengena orang yang
melakukannya. Seorang tokoh lain mengatakan bahwa mengambil harta benda milik
orang PKI tidak melanggar hukum. “Kelompok-kelompok yang berjaga-jaga mulai
keluar dengan berpakaian serba hitam dan bersenjatakan pedang, pisau, pentungan
dan bahkan senjata api. Rumah-rumah penduduk yang diduga sebagai anggota PKI
dibakar sebagai bagian dari pemanasan bagi dilancarkannya tindakan-tindakan
yang lebih kejam”. Kemudian pembantaian pun mulai terjadi di mana-mana. “Selama
tiga bulan berikutnya, Bali menjadi sebuah mimpi buruk pembantaian”. Dengan
perkiraan yang paling konservatif, menurut Soe-Hokgie, “paling tidak 80.000
orang terbunuh”, dari berbagai tingkat usia, pria dan perempuan. Soe-Hokgie
menyimpulkan, pembantaian massa PKI di Bali tidak berlangsung spontan melainkan
terutama karena hasutan tokoh-tokoh PNI dan mulai terjadi bulan November 1965.
Faktor lain, ada beberapa tokoh PNI yang karena ingin menutupi ‘kerjasama’nya
dengan PKI di masa lampau, kemudian memprovokasi suatu eliminasi terhadap PKI.
Melengkapi pembunuhan-pembunuhan dan pembakaran rumah-rumah, terjadi pula
tindakan-tindakan pemerkosaan terhadap sejumlah besar perempuan yang dikaitkan
dengan Gerwani. Salah satu pelaku pemerkosaan paling brutal, tulis Soe-Hokgie,
adalah Widagda seorang pimpinan PNI dari Negara. Ia ini adalah adik laki-laki
Wedasastra Suyasa, seorang tokoh terkemuka PNI di Bali dan anggota DPR-GR di
Jakarta. Widagda memperkosa puluhan wanita yang dituduh PKI, meskipun terbukti
kemudian bahwa tidak selalu tuduhan terkait PKI itu benar. Tiga di antara
korban mengajukan kasus ke pengadilan, dan Widagda akhirnya dijatuhi hukuman 3
tahun penjara yang amat tidak setimpal. Pelaku-pelaku lain selain Widagda, tak
sempat tersentuh hukum. Merupakan fakta, pembasmian di Bali hanya mengena
kalangan akar rumput PKI, sementara banyak lapisan atasnya lolos dan bisa
tinggal dengan aman di Jakarta.
Kutub Tujuh Pemberontakan di Indonesia: Di Ujung Kiri PKI, di Ujung Kanan DI/TII (5)
TENTU masih banyak contoh lain yang bisa dipaparkan selain Jawa dan Bali.
Rentetan peristiwa kekerasan kemanusiaan yang dialami pengikut PKI, maupun
kekerasan timbal balik dengan korban bukan PKI di Jawa dan Bali itu, terjadi
pula di Sumatera Utara, Sumatera Selatan, provinsi-provinsi di Kalimantan,
Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara, atau pun daerah-daerah lainnya dalam skala
hampir setara, menengah maupun yang lebih kecil. Di Sulawesi Selatan, kekerasan
tak hanya menimpa pengikut-pengikut PKI, tetapi juga massa Marhaen pengikut PNI
–berbalikan dengan apa yang terjadi Jawa Tengah dan Bali dengan massa PNI
sebagai pelaku terdepan.
SOEKARNO DAN JENDERAL SOEHARTO. “Dengan demikian kita akan memperoleh
catatan tentang kebenaran sepenuhnya. Kita pun akan memiliki catatan kebenaran
yang objektif tentang peranan beberapa tokoh pimpinan nasional kita dalam
rangkaian peristiwa, mulai dari Ir Soekarno sampai Jenderal Soeharto dan para
jenderalnya, ataukah sepak terjang DN Aidit dan PKI maupun pimpinan-pimpinan ormas
yang terlibat dalam kekerasan timbal balik kala itu”. (foto
reuters/nusantarahistory)
Rekonsiliasi: Berdasarkan kebenaran sejarah. Bukan pemutihan. Dengan
contoh-contoh peristiwa di Jawa dan Bali saja, sudah terlihat betapa rumitnya
sebenarnya Peristiwa 30 September 1965 tersebut, baik di masa prolog, pada
momen peristiwa maupun di masa epilog. Harus diakui, korban terbesar kejahatan
kemanusiaan di masa epilog adalah pengikut-pengikut PKI, tapi tak kurang
banyaknya juga adalah dari mereka yang dari kalangan non-PKI ataupun yang
sebenarnya tak tahu menahu persoalan politiknya. Pelakunya pun dari semua arah
dan semua pihak, meskipun ada perbedaan kadar kejahatan satu sama lain.Tapi
tetap saja, kejahatan adalah kejahatan.
Tepat 30 September 2012, 47 tahun setelah Peristiwa 30 September 1965,
sejarawan muda Bonnie Triyana, Pemimpin Redaksi Majalah Historia,
menuntut kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono agar “negara mengakui bahwa
dulu ada pelanggaran HAM berat”. Bahwa, “Ada rakyat Indonesia yang disiksa, dibunuh,
ditangkap, dan dipenjara tanpa melalui proses pengadilan. Negara dahulu gagal
melindungi rakyatnya”. Dan, pada 1 Oktober 2012, putera DN Aidit, Ilham Aidit,
yang saat peristiwa 1965 terjadi baru berusia enam setengah tahun, dikutip pers
mengatakan tentang tragedi 1965 itu, “saya kesal karena pemerintah tak bisa
menyelesaikan kasus pelanggaran berat masa lalu”. Kedua pernyataan bisa
dipahami, tetapi tak bisa dipenuhi sebelum ada penelitian atau penyelidikan
yang jujur dan cermat atas peristiwa. Kalau ingin melakukan desakan, inilah
yang harus dituntut dan didorong. Penyelidikan yang telah dilakukan oleh Komnas
HAM perlu diapresiasi, namun belum bisa dianggap memadai untuk tidak
mengatakannya masih sumir dan hanya mampu mengetengahkan sebagian dari kebenaran
yang diperlukan.
SAAT kejahatan kemanusiaan itu terjadi di tahun 1965-1966, Susilo Bambang
Yudhoyono, baru berusia 16-17 tahun, sekitar 10 tahun lebih tua dari Ilham
Aidit. Tapi karena hingga saat ia menjadi Presiden RI sekarang ini posisi
kebenaran dari peristiwa itu belum juga jelas, maka tak boleh tidak, sebagai
presiden ia harus memikirkannya. Lebih-lebih Bonnie, yang mungkin saja malah
belum lahir saat peristiwa terjadi. Namun karena ia seorang sejarawan yang
merasa lekat dengan isu HAM, jadilah ia orang yang menyerukan kepada SBY agar
negara mengakui pelanggaran HAM masa lampau itu.
Ini semua tentu menarik, dan sekaligus menunjukkan betapa telah begitu
lamanya kebenaran di sekitar peristiwa di tahun 1965-1966 itu tak terjamah
dengan baik. Dan karena begitu lamanya kebenaran itu terlunta-lunta dalam
perjalanan waktu –sedikit lagi genap setengah abad– kesimpangsiuran tentang
kebenaran itu sendiri semakin menjadi. Sebagian terbesar dari manusia
Indonesia, yang merupakan generasi baru, barangkali termasuk Susilo Bambang
Yudhoyono dan Ilham Aidit, apalagi Bonnie Triyana, hidup berhadapan dengan
kesimpangsiuran tentang kebenaran peristiwa tahun 1965. Semoga mereka tak
termasuk di antara yang ‘tersesat’ dalam pemahaman. Dalam kesimpangsiuran itu,
pandangan subjektif tentang peristiwa yang erat terkait dengan posisi
narasumber dalam peristiwa dan pengalaman sejarah, sangat dominan. Tercipta
kutub-kutub ekstrim yang jauh berbeda satu sama lain dalam kesimpangsiuran itu,
yang karena ‘dipelihara’ lalu mewaris ke generasi lebih muda. (Baca, “Peristiwa
1965: PKI dalam Perspektif Pembalasan dan Pengampunan”, bagian 3, sociopolitica,
2 Agustus 2012).
Tentu dengan ilmu sejarah, kebenaran objektif dari peristiwa yang telah
berlalu lebih dari 40 tahun itu bisa digali, setidak-tidaknya bisa didekati
sedekat-dekatnya. Namun sayang, bahkan sejarawan sekalipun –seperti Asvi Warman
Adam, dan beberapa sejarawan lainnya yang lebih muda– gagal menggali kebenaran
melalui ilmu sejarah, bahkan ada yang tergelincir memalsukan sejarah mengikuti
contoh manipulasi yang dilakukan sejumlah sejarawan di bawah perintah penguasa
militer masa Soeharto. Dulu ada Nugroho Notosusanto cs, kini ada Asvi Warman
Adam cs. Bedanya hanya, lain kutub tempat berpijak, yang mungkin karena beda
orientasi ‘pasar’ dan atau subjektivitas lainnya. Bila dulu manipulasi
kebenaran terlalu jauh berayun ke kanan, kini ganti berayun terlalu jauh ke
kiri. Mirip belah bambu saja, kalau ada yang diangkat, maka harus ada yang
diinjak. Apa memang susah menjadi sejarawan objektif –katakanlah seperti Anhar
Gonggong yang kini seakan tipe langka– yang taat kepada disiplin kebenaran dan
objektivitas penafsiran sejarah?
SAATNYA bandul sejarah tak lagi dibiarkan berayun-ayun liar. Jangankan
manipulasi sejarah, kebenaran sejarah yang sengaja diketengahkan
separuh-separuh pun akan bermakna sebagai ketidakbenaran. Banyak peristiwa
sejarah yang telah sempat dijungkirbalikkan kebenarannya, termasuk tentang
tujuh pemberontakan yang pernah terjadi: Pemberontakan DI/TII, pemberontakan Madiun,
pemberontakan RMS, pemberontakan PRRI-Permesta, Peristiwa 30 September 1965,
sampai pemberontakan separatis OPM dan GAM. Penggalian mengenai kebenaran
sejarah dari tujuh peristiwa itu, perlu dilakukan dengan cermat dan arif, untuk
setidaknya memperoleh catatan pembelajaran yang benar. Dua di antaranya perlu
mendapat prioritas. Salah satunya adalah mengenai Pemberontakan DI/TII, karena
hingga kini masih selalu hidup semangat untuk mendirikan Negara Islam Indonesia
di kalangan ‘minoritas’ tertentu dan bersamaan dengan itu selalu ada upaya
pemutihan terhadap apa yang telah dilakukan DI/TII di masa lampau itu dengan
memberi makna sebagai perjuangan suci.
Lainnya, adalah Peristiwa 30 September 1965 dalam kaitan isu kemanusiaan.
Kekerasan yang dialami seorang pelaku kejahatan, tak menghapuskan esensi dari
apa yang dilakukannya, namun jelas bahwa kekerasan itu adalah satu kejahatan
lainnya. Eksekusi tembak yang sengaja dilakukan seorang perwira AD, Jassir
Hadibroto –yang sempat mencapai pangkat jenderal di kemudian hari– sebagai
jalan pintas eliminasi terhadap DN Aidit di sebuah kebun singkong di Boyolali
Oktober 1965, adalah kejahatan –bersama dengan atasan pemberi perintah. Pada
sisi lain, eksekusi tersebut –yang latar belakangnya belum bisa dijelaskan, kecuali
bahwa itu diduga dilakukan untuk menutup jejak tertentu dalam peristiwa– tak
serta merta bisa menghapus keterlibatan DN Aidit atau PKI yang dipimpinnya
sebagai pelaku dalam Peristiwa 30 September 1965.
Khusus mengenai kejadian-kejadian di seputar Peristiwa 30 September 1965
tersebut, prakarsa Komnas HAM yang sedang mengungkapkan sebagian dari kebenaran
tentang kejahatan kemanusiaan pada waktu itu, wajib ‘dibantu’ untuk menjadi
pengungkapan kebenaran sepenuhnya. Kalangan perguruan tinggi yang memiliki penguasaan
metode penelitian kebenaran, perlu untuk mengambil peranan penting. Seluruh
rangkaian peristiwa, mulai dari masa prolog sampai epilog, baik aspek
sosial-politiknya maupun aspek kekerasan dan kejahatan kemanusiaan yang terjadi
dalam rangkaian tersebut, perlu ditelusuri dengan jujur dan cermat: Apakah
sepenuhnya genosida (berdasarkan perbedaan ideologi) oleh penguasa militer,
apakah malapetaka sosiologis berupa kekerasan yang balas berbalas ataukah
konsekuensi logis dari pertarungan politik yang menghalalkan penggunaan
kekuatan massa dalam kekerasan, atau apa? Dengan demikian kita akan memperoleh
catatan tentang kebenaran sepenuhnya. Kita pun akan memiliki catatan kebenaran
yang objektif tentang peranan beberapa tokoh pimpinan nasional kita dalam rangkaian
peristiwa, mulai dari Ir Soekarno sampai Jenderal Soeharto dan para
jenderalnya, ataukah sepak terjang DN Aidit dan PKI maupun pimpinan-pimpinan
ormas yang terlibat dalam kekerasan timbal balik kala itu.
Penelitian akan meliputi rentang waktu 1960 sampai setidaknya tahun 1969.
Atau mungkin lebih jauh lagi, sampai pertengahan 1970an saat masalah tahanan
politik, khususnya yang di Pulau Buru, diakhiri dan ‘diselesaikan’. Bila
kebenaran sepenuhnya berhasil ditemukan atau didekati sedekat-dekatnya, akan mudah
mengambil keputusan-keputusan tindak lanjut: Apakah rekonsiliasi, ataupun
penyelesaian-penyelesaian politik lainnya yang diperlukan, dengan keadilan
sebanyak-banyaknya bagi semua pihak. Namun tidak perlu ada pemutihan atas
sesuatu yang salah –dilakukan oleh siapa pun.
SEBAGAI penutup catatan ini, perlu untuk meminjam apa yang dikatakan Letnan
Jenderal Purnawirawan Agus Widjojo –putera salah satu Pahlawan Revolusi, Mayjen
Suwondo Parman– 1 Oktober 2012, “Kita tidak mencari siapa benar atau siapa
salah, melainkan melihat di mana kesalahan negara ini. Apa yang salah dengan
bangsa ini”. Meski formulasi pengutaraan sebagaimana dikutip pers itu mungkin
saja tak sepenuhnya bisa disepakati, tetapi pertanyaan mengenai apa yang salah
dengan bangsa ini, perlu dipikirkan mendalam dan dicari jawabnya.