Jumat, 29 Januari 2016

KUTUB TUJUH PEMBERONTAKAN INDONESIA

Kutub Tujuh Pemberontakan di Indonesia: 
Di Ujung Kiri PKI, di Ujung Kanan DI/TII (1)

PUBLIKASI 81 foto dokumentasi hari-hari terakhir ‘proklamator’ Negara Islam Indonesia, SM Kartosoewirjo, yang sekaligus adalah panglima tertinggi Darul Islam/Tentara Islam Indonesia, sengaja atau tidak, menguak salah satu luka lama republik ini. Seluruhnya, bersama pemberontakan DI/TII tersebut, ada tujuh luka besar penuh darah sepanjang usia republik yang pada 17 Agustus 2012 yang baru lalu ini genap 67 tahun. Belum terhitung luka-luka berdarah lainnya yang lebih kecil, namun terakumulasi sebagai suatu rangkaian keperihan bagi bangsa ini, dengan kalangan akar rumput selalu sebagai korban utama yang paling menderita.

BENDERA NEGARA ISLAM INDONESIA. “Lalu bagaimana mungkin itu semua disebutkan sebagai suatu perjuangan suci? Kalau nama Islam dibawa-bawa sebagai pembenaran, memangnya sebagian terbesar korban itu bukan penganut Islam? Bukankah sembilan dari sepuluh rakyat Indonesia adalah penganut Islam?”. (download okezonenews)
Tujuh pemberontakan ‘besar’ itu adalah Pemberontakan Madiun 1948, Pemberontakan DI/TII sejak Agustus 1949, Pemberontakan Separatis Republik Maluku Selatan (RMS) 1950, Pemberontakan PRRI/Permesta 1958-1961, Peristiwa Gerakan 30 September 1965, lalu dua terbaru, perlawanan bersenjata Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan perlawanan gerilya Organisasi Papua Merdeka (OPM). Semua ditumpas dan diselesaikan dengan tindakan tegas dan keras oleh pasukan pemerintah, kecuali GAM dan OPM.
Mulanya masalah GAM coba diatasi dengan operasi militer –yang terkesan dipanjang-panjangkan dan enggan dituntaskan dengan cepat, entah dengan pertimbangan apa– di masa Presiden Soeharto, namun diakhiri dengan perundingan damai di masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wapres Jusuf Kalla. Perundingan dan kompromi ini adalah sikap terlunak yang pernah ditunjukkan pemerintah terhadap suatu pemberontakan. Jauh dari kriteria perdamaian yang layak misalnya diganjar dengan hadiah nobel perdamaian, baik untuk Susilo Bambang Yudhoyono maupun untuk Jusuf Kalla.
Dengan penanganan seperti itu, perlawanan GAM tercipta menjadi seolah-olah suatu gerakan kemerdekaan ‘bangsa’ Aceh. Ini ironis, karena pemimpin-pemimpin Aceh pada momen proklamasi termasuk pelopor pendukung kemerdekaan Indonesia yang ikut memberikan kontribusi berharga bagi negara baru ini. Pesawat pertama milik republik, Seulawah, disumbangkan oleh para pemimpin dan masyarakat Aceh. Sementara itu, terdapat tokoh Aceh dalam proses persiapan kemerdekaan Indonesia, anggota PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) Haji Teuku Moehammad Hasan. Bahkan jauh sebelumnya tokoh-tokoh muda Aceh ada dalam barisan pemuda yang mencetuskan Sumpah Pemuda 1928.
OPM juga adalah sebuah ironi. Nama Papua itu sendiri, seperti kata pejuang Trikora Herlina, lebih terkonotasi kepada OPM yang adalah bentukan Belanda. Para pendiri OPM dikenal sebagai tokoh-tokoh Irian yang sangat tunduk kepada Belanda. Mereka membentuk OPM saat ikut bermukim di negeri mantan penguasa kolonial di Irian tersebut, setelah memilih lari ke Belanda meninggalkan Irian. Sementara itu, beberapa putera Irian lainnya, seperti Dimara, Raja Rumagesan, Frans Kaisiepo, Marthen Indey ikut berjuang membebaskan Irian dari tangan Belanda. Begitu juga seorang mahasiswa Irian yang bersekolah di Belanda, Fritsz Kiriheo. Pangeran Bernhard, suami Ratu Juliana, merupakan tokoh yang berusaha meyakinkan isterinya untuk berperan agar pemerintah Belanda menyerahkan Irian Barat ke Republik Indonesia, karena menganggapnya suatu hal yang lebih realistis. Barangkali, persetujuan Presiden Abdurrahman Wahid bagi penggunaan nama Papua, belakangan, untuk mengganti nama Irian Jaya adalah sebuah kekhilafan. Apalagi, sesungguhnya nama Papua, menurut beberapa literatur orang Belanda sendiri, digunakan oleh Belanda dalam konotasi tertentu yang sebenarnya secara historis dan sosiologis kurang nyaman. Belanda memang senang memberi istilah dan penamaan-penamaan yang merendahkan penghuni negeri jajahannya, semisal julukan inlander. Di Irian, mereka memberi suatu daerah dengan nama Keerom. Ini berasal dari kata Belanda, keerom, yang berarti “balik haluan”. Maknanya, tak bisa dipercaya. Salah seorang panglima perang OPM yang terkenal, Marthen Tabu (kini almarhum)yang diasingkan ke Jakarta tahun 1980-an, berasal dari daerah Keerom.
DI ANTARA tujuh pemberontakan itu, yang paling ekstrim di antara yang ekstrim, tak lain adalah pemberontakan dalam rangkaian Peristiwa Madiun 1948 dan Peristiwa 30 September 1965, serta Pemberontakan DI/TII yang berlangsung berkepanjangan. Kita melihat, pada garis ekstrim itu, PKI berada di ujung paling kiri, sementara DI/TII berada di ujung paling kanan. Kedua kelompok peristiwa ini, ada dalam titik fokus yang terkait dengan waktu per saat ini. Peristiwa 30 September 1965 yang juga memiliki rangkaian sejarah dengan Peristiwa Madiun 1948, terjadi 47 tahun lalu di akhir bulan September. Sedang memori tentang Peristiwa Pemberontakan DI/TII terpicu oleh publikasi buku Fadli Zon yang diluncurkan tepat pada tanggal yang sama dengan pelaksanaan eksekusi mati panglima tertinggi DI/TII Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, 12 September 1962. (Beberapa sumber menyebutkan bahwa sebenarnya nama Sekarmadji di depan nama Kartosoewirjo tak lain adalah singkatan dari Sekar Maridjan, yang juga biasa diringkas sebagai SM).
‘Pemutihan’ yang menguak luka lama. Barangkali tak ada yang ‘terlalu’ salah dalam inisiatif Fadli Zon menerbitkan buku dengan 81 foto dokumentasi hari-hari terakhir SM Kartosoewirjo, kecuali persoalan darimana kolektor yang menjual foto-foto dokumentasi tersebut kepada Fadli, memperolehnya. Jelas foto-foto tersebut bukan hasil pemotretan bebas, tetapi pastilah pemotretan petugas institusi negara, dan dengan demikian merupakan milik negara yang semestinya tak bisa diperjual-belikan secara bebas. Ini mirip yang terjadi dengan Hashim Djojohadikoesoemo, adik Prabowo Subianto, ketika membeli pusaka milik Keraton Solo di luar negeri, tapi ternyata hasil curian.
Namun terlepas dari itu, bagaimanapun, publikasi tersebut sengaja atau tidak, telah menambahkan lagi satu kesempatan bagi beberapa pihak untuk mencoba memutihkan apa yang dilakukan Kartosoewirjo sejak Agustus 1949 sampai tertangkap di pertengahan 1962. Setelah berlalunya waktu selama setengah abad, ada percobaan untuk memberi penggambaran baru  terhadap pemberontakan DI/TII –di Jawa Barat, Aceh, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan– sebagai suatu perjuangan suci menegakkan Islam. Padahal, dari sudut mana pun, itu suatu pemberontakan bersenjata bergelimang darah yang tumpah secara sia-sia, bukan untuk agama melainkan untuk memenuhi hasrat kekuasaan dengan pengatasnamaan agama.
Suatu upaya pemutihan semacam itu, hanya akan menguak luka lama, sehingga perihnya terasa kembali, teristimewa bagi para keluarga yang di masa lampau menjadi korban kekejian DI/TII, khususnya di empat daerah Indonesia. Bayangkan bila kelompok pembunuh yang menjagal dengan keji sanak saudara anda, tiba-tiba pada suatu waktu dinobatkan sebagai pejuang-pejuang suci agama. Bagaimana rasanya?
Bila korban adalah aparat militer, mungkin masih bisa diberi kalimat penghiburan bahwa itu adalah risiko tugas, meskipun esensinya mereka tetap saja adalah korban. Dan lalu bagaimana dengan korban yang berasal dari masyarakat biasa yang tidak terlibat dengan ambisi kekuasaan para tokoh? Kalangan akar rumput kala itu siang malam menjadi korban kekerasan berdarah, pembakaran kampung halaman, penjarahan harta benda, penculikan perempuan anggota keluarga. Belum lagi peristiwa-peristiwa penghadangan di jalan-jalan antar kota, terutama di Jawa Barat dan di Sulawesi Selatan. Paling mengerikan, seperti yang banyak terjadi di Sulawesi Selatan, anak buah Kahar Muzakkar memiliki kegemaran mengeksekusi orang dengan cara menyembelih leher korban, layaknya menyembelih kambing. Sementara di kota-kota, setiap saat bisa terjadi teror penggranatan, di Pasar Malam sampai kenduri penduduk, bukan hanya terhadap Presiden Soekarno.
Pada masa itu di Sulawesi Selatan, praktis ekonomi tiga perempat lumpuh karena jalur transportasi antar kota dan antar wilayah dalam propinsi betul-betul tidak aman. Bila masyarakat ada keperluan mendesak, ke daerah pedalaman atau sebaliknya ke kota kabupaten atau propinsi, biasanya mereka ikut dalam konvoi kendaraan dengan pengawalan tentara. Jarak 200 kilometer saja harus ditempuh 3-4 hari oleh konvoi yang maju beringsut-ingsut. Setiap minggu pasti terjadi penghadangan oleh pasukan DI/TII, setidaknya dua kali, bahkan bisa setiap hari. Satu konvoi bisa dihadang lebih dari satu kali. Dalam penghadangan yang berhasil, para korban yang mati dipreteli harta bawaannya, sampai kepada mengambil gigi emas dengan mencabut giginya sekalian. Laki-laki yang masih hidup umumnya dihabisi. Perempuan tua biasanya dibiarkan hidup setelah menyerahkan harta benda dan dicabut gigi emasnya lengkap dengan akar gigi, begitu saja menggunakan tang (atau catut kakaktua besi). Anak-anak diculik untuk dibesarkan sebagai pengikut, dan para perempuan muda dibawa serta masuk hutan untuk dijadikan isteri.
Lalu bagaimana mungkin itu semua disebutkan sebagai suatu perjuangan suci? Kalau nama Islam dibawa-bawa sebagai pembenaran, memangnya sebagian terbesar korban itu bukan penganut Islam? Bukankah sembilan dari sepuluh rakyat Indonesia adalah penganut Islam?
Apa yang dilakukan oleh tokoh-tokoh DI/TII di masa lampau, tentu saja bukan suatu tanggungjawab hukum dan tanggungjawab sejarah yang terwariskan kepada turunan mereka. Meskipun demikian, kepada para putera-puteri SM Kartosoewirjo, putera-puteri Daud Beureuh, putera-puteri Ibnu Hadjar dan putera-puteri Kahar Muzakkar serta putera-puteri tokoh-tokoh DI/TII lainnya, rasanya kita bisa menitip pesan moral, sudilah untuk mempertimbangkan perasaan keluarga para korban ketika berbicara tentang kiprah orangtua mereka di masa lampau, apalagi mengatakannya seakan-akan itu bukan suatu kesalahan dan bahkan mengesankan orangtua mereka adalah korban negara.
Ucapan salah seorang putera Kartosoewirjo, Sardjono, bahwa dirinya tidak memiliki dendam sejarah –“Sudah terlalu lama, 50 tahun, sudah beda generasi”– seperti yang dikutip dalam media sosial, adalah bijak. Tetapi sebaliknya, sikap beberapa keturunan tokoh DI/TII yang menerjunkan diri dalam gerakan-gerakan baru menuju pembentukan Negara Islam di Indonesia, mengulangi kiprah para orang tua mereka, adalah keliru. Pelajari dan cermati sejarah, jangan memanipulasi sejarah untuk memutihkan sesuatu yang hitam dalam suatu bingkai sentimen. Apalagi mengulangi kekeliruan yang sama. Masyarakat sudah belajar melupakan, itu sudah menjadi semacam pemaafan sejalan dengan arus pusaran waktu. Jangan buat luka baru di atas luka lama.
Barangkali bagi Fadli Zon, juga perlu dititipkan pesan agar saat asyik ikut menyusun puzzle sejarah, hendaknya cermat dan berhati-hati dalam ‘memuji’ tokoh kekerasan dalam sejarah seperti SM Kartosoewirjo. Apresiasi anda yang berlebihan terhadap pelaku kekerasan masa lampau, bila keluar dari takaran, bisa melukai perasaan keluarga korban peristiwa, walaupun niat anda baik dalam konteks menambah referensi kebenaran sejarah.

Kutub Tujuh Pemberontakan di Indonesia: Di Ujung Kiri PKI, di Ujung Kanan DI/TII (2)
PADA KUTUB peristiwa pemberontakan yang lain, terkait Peristiwa 30 September 1965 –maupun Peristiwa Madiun 1948– yang melibatkan nama Partai Komunis Indonesia (PKI), pun diperlukan cara memandang yang selain cermat juga bijak. Terutama mengenai dimensi kekerasan dan kejahatan kemanusiaan dalam skala besar-besaran yang terjadi dalam peristiwa, serta, siapa saja para pelaku kejahatan kemanusiaan tersebut sesungguhnya. Bingkai dasar cara memandangnya pun haruslah kebenaran sepenuhnya dengan sebanyak-banyaknya keadilan.
PEMUDA RAKYAT PKI DI ATAS TRUK DI TANGERANG, DIKAWAL TENTARA MENUJU PENAHANAN. “Hal menarik lainnya, adalah bahwa korban kejahatan kemanusiaan yang jatuh pada masa epilog itu, tidak melulu adalah anggota atau simpatisan PKI, meskipun harus diakui bahwa korban mayoritas adalah memang dari kelompok tersebut”. (dokumentasi asiafinest)
Di wilayah abu-abu, bukan hitam-putih. Bila diperbandingkan, Peristiwa 30 September 1965 lebih complicated daripada rangkaian pemberontakan DI/TII yang lebih hitam putih. Proses penyelesaian DI/TII lebih tuntas, baik secara politis, militer maupun secara hukum. Pemberontakan DI/TII di Kalimantan Selatan selesai akhir 1959 dengan tertangkapnya Ibnu Hadjar. Hampir 3 tahun setelahnya, masalah DI/TII di Jawa Barat diakhiri dengan tertangkapnya SM Kartosoewirjo 4 Juni 1962 melalui Operasi Pagar Betis yang dilancarkan Divisi Siliwangi bersama rakyat. Kemudian, SM Kartosoewirjo diadili Mahkamah Militer dan dijatuhi hukuman mati yang eksekusinya dilaksanakan 12 September 1962 di Kepulauan Seribu di utara pantai Jakarta. Pemberontakan DI/TII di Aceh selesai setelah Daud Beureueh memenuhi seruan pemerintah untuk kembali ke masyarakat pada tahun 1962.
Terakhir dalam rangkaian ini adalah penyelesaian DI/TII di Sulawesi Selatan yang tercapai setelah Kahar Muzakkar tertembak mati oleh Kopral Satu Ili Sadeli dari Batalion 330 Siliwangi dalam suatu penyergapan dinihari 4 Februari 1965. Beberapa pengikut Kahar secara berangsur-angsur telah lebih dulu kembali ke pangkuan ibu pertiwi memenuhi seruan pemerintah, atau menyerah ketika operasi militer yang dilancarkan makin ketat. Dalam operasi fase akhir yang mengikutsertakan pasukan dari Divisi Siliwangi, pola operasi pagar betis juga diterapkan. Rakyat di berbagai wilayah operasi, berpartisipasi dengan cukup antusias. Ini mematahkan mitos bahwa karena rakyat Sulawesi Selatan sangat religius maka mereka mendukung perjuangan Kahar Muzakar yang ingin membangun Negara Islam Indonesia. Fakta kekejaman pasukan Kahar selama belasan tahun –antara 1951 hingga awal 1965– menjadi faktor hilangnya segala peluang dukungan. Menurut catatan, Kahar Muzakkar masuk hutan sejak 16 Agustus 1951 karena kekecewaan pribadi terkait penataan Corps Tjadangan Nasional (CTN), namun baru memproklamirkan diri bergabung Negara Islam Indonesia 7 Agustus 1953. Sebelum menggunakan bendera Islam, Kahar Muzakkar sempat terombang-ambing dalam pilihan ideologi komunis atau ideologi Islam sebagai dasar perjuangan.
Peristiwa 30 September 1965 sendiri adalah peristiwa yang berlangsung dalam waktu ringkas, namun memiliki prolog dan epilog yang panjang dan berkepanjangan dalam skala tahunan. Nuansa peristiwanya tidak hitam-putih, melainkan lebih banyak bergerak di wilayah abu-abu. Keterlibatan beberapa pimpinan PKI dan sejumlah anggota partai tersebut dalam rangkaian peristiwa di hari-hari sekitar tanggal 30 September 1965, adalah nyata. Akan tetapi keterlibatan tokoh lain di luar PKI dalam rangkaian peristiwa, berada di wilayah abu-abu. Pada wilayah abu-abu itu terdapat nama-nama tokoh mulai dari Dr Soebandrio sampai Soekarno –bahkan Jenderal Soeharto sendiri– selain nama-nama institusi seperti Angkatan Udara Republik Indonesia di bawah Laksamana Madya Angkatan Udara Omar Dhani (Kepangkatan Laksamana Udara tersebut belakangan dirubah menjadi Marsekal Udara). Beberapa kesatuan militer lainnya dari berbagai angkatan, termasuk Resimen Pelopor Angkatan Kepolisian RI di bawah Anton Soedjarwo, juga ada di wilayah abu-abu. Sementara itu, Korps Komando (KKO) Angkatan Laut di bawah Letnan Jenderal KKO Hartono lebih terhubung sebagai pembela Soekarno daripada aspek lainnya dalam peristiwa.
KEKERASAN dan kejahatan kemanusiaan terjadi baik pada masa prolog, saat peristiwa terjadi, maupun pada masa epilog. Tetapi harus diakui bahwa secara kuantitatif, kejahatan kemanusiaan paling dahsyat, keji dan intensif terjadi pada babak epilog. Disebutkan angka korban antara 500.000 sampai 3.000.000 jiwa, dengan mereka yang dianggap pengikut PKI sebagai korban terbanyak, meski angka-angka itu masih harus diteliti lebih jauh kebenarannya untuk memperoleh angka pasti yang terdekat dari kenyataan sesungguhnya. Secara kualitatif, pada lain pihak, pembunuhan yang dilakukan pelaku Gerakan 30 September 1965 terhadap 6 jenderal dan 1 perwira pertama di Jakarta, serta pembunuhan 2 perwira menengah di Yogyakarta, masuk dalam kategori keji.
Meski tak seintensif yang terjadi di masa epilog, kekerasan politik dan kekerasan massa di masa prolog, secara fisik ataupun mental, tak boleh dianggap tak ada artinya. Rangkaian perampasan tanah dan teror kelompok yang dilakukan massa onderbouw PKI dipedesaan maupun diperkotaan, bukan pelanggaran ringan. Selain merupakan pelanggaran hukum, sekaligus juga merupakan pelanggaran hak azasi manusia. Tercatat sejumlah peristiwa berdarah di masa prolog, seperti Peristiwa Bandar Betsy, Peristiwa Kanigoro, Peristiwa Toraja dan sejumlah peristiwa serupa di seluruh penjuru tanah air. Aksi-aksi itu merupakan pula pelajaran pertama mengenai penggunaan kekuatan massa dalam pengobaran konflik di masyarakat dalam konteks pertarungan politik. Belum lagi kekerasan non fisik, yang berupa penistaan agama maupun kebengisan lontaran kata-kata sebagai teror mental dalam praktek politik. Untuk itu kita pinjam beberapa catatan dalam buku “Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966” (Rum Aly, Kata Hasta Pustaka, 2006) berikut ini.
Baik kalangan Islam maupun penganut Kristen-Katolik “merasa amat tak nyaman dengan sikap permusuhan yang ditunjukkan kaum komunis terhadap agama-agama yang ada”. Permusuhan dan sikap sarkastis terhadap agama ditunjukkan terang-terangan. Paling banyak dituturkan di antara perilaku anti agama yang ditunjukkan orang-orang komunis adalah pertunjukan ketoprak sebuah organisasi kesenian PKI di Muntilan, yang berkali-kali mempertontonkan lakon menghina agama. Salah satunya adalah lakon “Patine Gusti Allah” atau Kematian Tuhan, dan lainnya yang secara khusus ditujukan kepada orang Katolik yaitu “Paus Rabi” yang artinya Paus Menikah. Untuk umat Islam, provokasi dilakukan melalui pertunjukan-pertunjukan wayang kulit yang juga mengenai Kematian Tuhan.
Satu perilaku lainnya yang menista Tuhan dan agama adalah yang sering dilakukan oleh guru-guru yang berhaluan politik komunis di hadapan murid-murid di kelasnya. Dilakukan di berbagai daerah dalam satu pola standar. Seringkali beberapa guru masuk ke satu kelas (terutama) sekolah dasar, dan seorang di antaranya akan menyuruh murid-murid berdoa kepada Tuhan memohon diberikan pinsil. Setelah berdoa, dan pinsil-pinsil tak ‘datang’ juga, salah seorang guru lainnya kemudian menyuruh murid-murid untuk bersama-sama meminta ibu atau pak guru memberikan pinsil. Mereka lalu membagi-bagikan pinsil kepada para murid. Nah, kata mereka kemudian, kalian sudah berdoa kepada Tuhan meminta pinsil, “apakah Tuhan memberikan pinsil?”. Murid-murid menjawab, “Tidak”. Dan, “Kalian sudah minta pinsil kepada guru, apakah kalian dapat pinsil?”. Murid-murid menjawab, “Dapat”.
Dalam pergulatan kekuasaan, sepanjang lima tahun sebelum Peristiwa 30 September 1965, PKI dan organisasi-organisasi pendukungnya setapak demi setapak berhasil menempati posisi kokoh di sisi Soekarno dan mewarnai dengan kuat –untuk tidak menyebutnya mendominasi– kehidupan politik Indonesia. Hingga pertengahan tahun 1965, PKI mengungguli kekuatan politik lainnya dalam pergulatan kekuasaan dengan sikap ofensifnya yang mengalir bagaikan air bah yang tak kunjung surut. Bahkan PKI berhasil menciptakan suatu tingkat suasana psikologis berupa ‘ketakutan’ kelompok politik lain untuk dikenakan ‘stigma’ komunisto phobia, kontra revolusi, anti Nasakom, antek Nekolim (Neo Kolonialisme) dan aneka tudingan ‘mengerikan’ lainnya, seperti kapitalis birokrat, setan kota, setan desa dan sebagainya. Sementara dari lingkaran kekuasaan Soekarno sendiri dengan mudah meluncur tudingan ‘mendongkel’ Pemimpin Besar Revolusi bila ada yang bersikap sedikit kritis atau berbeda.
Itu semua menjadi andil dalam penumpukan dendam sosial-politik yang menyebabkan ledakan kekerasan di kemudian hari, khususnya di masa epilog Peristiwa 30 September 1965, yang berlangsung di kwartal terakhir tahun 1965 dan tahun-tahun 1966-1967. Kekerasan dengan kategori kejahatan kemanusiaan luar biasa di masa epilog, meliputi pembunuhan-pembunuhan, pemerkosaan, penyiksaan fisik dan mental, serta perampasan kemerdekaan dengan alasan ketertiban dan keamanan. Beberapa dari pembunuhan dilakukan dengan cara keji, antara lain dengan pemenggalan kepala, sehingga banyak ditemukan mayat tanpa kepala atau sebaliknya kepala tanpa tubuh di sungai-sungai atau di tempat-tempat manapun.
Memerlukan kecermatan pandang. Pembunuhan-pembunuhan terjadi nyaris di seluruh penjuru Indonesia, namun ada beberapa daerah yang sangat menonjol sebagai locus peristiwa, yakni Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali di urutan atas. Daerah-daerah yang berada pada urutan berikut adalah Sumatera Utara, Sumatera Selatan dan Sulawesi Selatan. Menarik bahwa Jawa Barat tidak semenonjol seperti 6 propinsi lainnya itu. Menurut  Dr Aminullah Adiwilaga, ‘pembasmian’ berdarah atas massa pengikut PKI di Jawa Barat, telah lebih dahulu dilakukan secara sistematis oleh DI/TII pada tahun-tahun sebelumnya terutama di wilayah Priangan Timur. Angka-angkanya cukup massive dengan cara-cara pembasmian yang cukup tidak manusiawi.
Hal menarik lainnya, adalah bahwa korban kejahatan kemanusiaan yang jatuh pada masa epilog itu, tidak melulu adalah anggota atau simpatisan PKI, meskipun harus diakui bahwa korban mayoritas adalah memang dari kelompok tersebut. Sama menariknya adalah bahwa belakangan ini, banyak pengungkapan tentang adanya jejak berdarah jenderal pujaan perjuangan 1966, Letnan Jenderal Sarwo Edhie Wibowo, dalam peristiwa pembasmian PKI di tahun 1965-1966. Apakah ini adalah pengungkapan artifisial belaka, semata-mata karena sang jenderal adalah ayah mertua Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono yang banyak disorot gerak dan pola kepemimpinannya sebagai Presiden RI belakangan ini?

Kutub Tujuh Pemberontakan di Indonesia: 

Di Ujung Kiri PKI, di Ujung Kanan DI/TII (3)


PENEMPATAN nama Letnan Jenderal Sarwo Edhie Wibowo dalam suatu pemaparan mengenai apa yang disebut Misteri 1965 yang diberi semacam judgement  sebagai  “Jejak Berdarah Sang Pembasmi”, seperti dilakukan Majalah Berita Mingguan Tempo (edisi 7-13 November 2011), misalnya, tentu saja menarik perhatian. Apa yang disorot Tempo hampir setahun lalu itu, agaknya masih akan senantiasa menjadi sebagian bahan sorotan, terutama seperti saat ini, menjelang ‘seremoni’ tetap ‘bulan kenangan dan ingatan’ tentang Peristiwa 30 September 1965. Apalagi, saat ini pada masa-masa menjelang 2014, anak dan menantu yang ditinggalkan Sarwo Edhie, juga berada dalam sorotan, ketika dianggap sedang mempersiapkan diri membangun suatu dinasti politik dan kekuasaan. Puterinya, Ani Yudhoyono, isteri Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, maupun puteranya Letnan Jenderal Pramono Edhie Wibowo yang kini menjabat sebagai KSAD, disebut-sebut namanya untuk kursi Presiden RI tahun 2014. Sementara anak dan menantunya yang lain, maupun cucunya, semua serba berkecimpung dalam dunia politik.

TAHANAN PKI DI BALIK JERUJI, DI SEKITAR JAKARTA. “Di ibukota Jakarta dan sekitarnya, penangkapan yang dilakukan memang terutama  terhadap anggota atau simpatisan PKI dan organisasi onderbouwnya. Tetapi cukup banyak anggota masyarakat bukan pengikut PKI yang ikut tertangkap dan akhirnya hilang entah kemana selama bertahun-tahun bahkan untuk seterusnya. Kenapa ini bisa terjadi?”. (dokumentasi asiafinest)
Apakah pembentukan dinasti itu adalah wasiat Sarwo Edhie? Sejumlah Manggala BP-7 yang menjadi lingkungan kegiatannya yang terakhir, mengatakan selama bersama sang jenderal, tak sekalipun mereka mendengar Sarwo Edhie membicarakan soal yang satu itu. Juga, tak pernah mendengar adanya rancangan seperti itu semasa Sarwo Edhie masih hidup. Ini mirip dengan almarhum Soekarno, semasa hidupnya tak sekalipun ia menyebut-nyebut suatu rencana pembentukan dinasti. Akan tetapi meskipun Sarwo Edhie tak ikut ‘bertanggungjawab’ dalam pembentukan dinasti semacam itu, karena itu adalah urusan generasi kedua dari keluarga besarnya,  namanya tetap disebut-sebut setiap kali soal itu disorot.
Majalah Tempo sejauh ini masih tergolong dalam kategori media yang bisa dipercaya di antara banyak media yang tak lagi bisa dipercaya sepenuhnya. Meskipun, Tempo kerap pula tergelincir tidak akurat dan kurang cermat dalam melaporkan beberapa peristiwa. Mereka yang percaya kepada laporan Tempo, meskipun majalah tersebut tak terlalu definitif dalam judgement terkait peran Jenderal Sarwo Edhie dalam Misteri 1965 tersebut, bisa goyah mengenai integritas sang jenderal. Selama ini  Letnan Jenderal Sarwo Edhie Wibowo senantiasa digolongkan sebagai jenderal idealis 1966 bersama Letnan Jenderal HR Dharsono dan Letnan Jenderal Kemal Idris. Pada sisi lain tetap terdapat kepercayaan yang mendalam, seperti yang dikatakan Letnan Jenderal Rais Abin –juga kepada Tempo– bahwa Sarwo Edhie Wibowo adalah pribadi yang lurus, jujur, apa adanya dan tidak munafik. Beberapa orang yang mengenalnya secara dekat, menambahkan, Sarwo adalah pribadi tegas dan memiliki integritas tinggi. Ini telah terbukti dalam berbagai sepak terjang sang jenderal, dari tahun 1965 sampai akhir hayatnya 9 November 1989. Apakah seseorang dengan karakter seperti itu, bisa menjadi seorang pemimpin pasukan maniak yang membabi-buta melakukan kejahatan kemanusiaan tanpa alasan? Semua ini adalah sesuatu yang menarik untuk dibahas lebih lanjut (Baca “Kisah Jenderal Sarwo Edhie Wibowo dan RPKAD 1965-1966”, dalam sociopolitica mendatang).
TERLEPAS dari soal peran Letnan Jenderal Sarwo Edhie, lekuk-liku peristiwa dalam masa epilog Peristiwa 30 September 1965, memang adalah sesuatu yang amat rumit. Tak gampang mengambil kesimpulan mengenai kebenaran peristiwa. Dibutuhkan ketekunan dan kecermatan luar biasa untuk menelusuri kebenaran dalam rangkaian peristiwa. Dan justru itu yang belum berhasil dilakukan hingga kini, oleh siapa pun. Upaya yang dilakukan Komnas HAM beberapa waktu terakhir ini, pun masih jauh dari kriteria ketekunan dan kecermatan itu. Dari pernyataan Komnas HAM 23 Juli 2012 tentang “hasil penyelidikan pelanggaran HAM yang berat Peristiwa 1965-1966”, terlihat betapa masih terbatas dan tak memadainya penyelidikan yang telah dilakukan untuk suatu peristiwa yang begitu besar dan luas seperti itu. Narasumber yang diwawancarai terbatas dari kelompok saksi korban, yang secara kuantitatif terasa sangat tak memadai, dan tak ada saksi kategori lain. Diperlukan penyelidikan yang lebih luas dengan melibatkan berbagai institusi negara maupun masyarakat, serta perguruan tinggi sebagai lembaga yang masih paling dipercaya oleh masyarakat. Keikutsertaan kalangan perguruan tinggi bisa lebih menjamin kecermatan pandang dan kesimpulan-kesimpulan berkualitas dalam konteks kebenaran. Kesimpulan-kesimpulan yang sumir hanya akan menambah kerumitan persoalan dan menimbulkan kesalahpahaman baru.
Malapetaka dari sikap ‘mendahului atau didahului’. Penyelidikan Komnas HAM tentang “Peristiwa 1965-1966”, seperti yang telah dilakukan sejauh ini, tak mungkin akan berguna dalam menemukan kebenaran sepenuhnya dari tragedi kemanusiaan pada masa epilog Peristiwa 30 September 1965 tersebut. Selain terpaku kepada sindrom korban, para penyelidik Komnas HAM juga hanya membatasi diri ‘memperjuangkan’ nasib dan mencari keadilan bagi massa pengikut PKI. Memang merupakan fakta bahwa korban terbanyak adalah massa pengikut PKI. Presiden Soekarno dalam pidatonya 18 Desember 1965, menggambarkan betapa “jenazah-jenazah dari Pemuda Rakyat, BTI, orang-orang PKI, atau simpatisan PKI yang disembelih, dibunuh, kemudian dibiarkan saja di pinggir jalan di bawah pohon, dihanyutkan dan tidak ada yang mengurusnya”. Sayang Soekarno tidak menyebutkan bahwa sebenarnya tidak sedikit korban juga berasal dari kalangan non-PKI.
Dengan mengungkap fakta korban di sisi PKI saja, berarti Komnas HAM pun terjebak dalam sikap membela hanya separuh dari kebenaran. Padahal yang dibutuhkan dalam kaitan ini adalah kebenaran sepenuhnya. Kebenaran sepenuhnya penting untuk diketahui karena sifat dan jalannya peristiwa kejahatan kemanusiaan di masa epilog Peristiwa 30 September 1965 ini, khususnya yang terjadi pada tahun 1965-1966, berbeda-beda dari satu daerah ke daerah lainnya. Pelaku-pelakunya pun dari kelompok dan pihak yang berbeda-beda.
Di ibukota Jakarta dan sekitarnya, penangkapan yang dilakukan memang terutama terhadap anggota atau simpatisan PKI dan organisasi onderbouwnya. Tetapi cukup banyak anggota masyarakat bukan pengikut PKI yang ikut tertangkap dan akhirnya hilang entah kemana selama bertahun-tahun bahkan untuk seterusnya. Kenapa ini bisa terjadi? Pertama-tama tentu karena ketidakcermatan dalam ketergesa-gesaan satuan-satuan militer yang melakukan penangkapan. Kedua, satuan-satuan yang melakukan penangkapan tak selalu jelas dari ‘pihak’ mana. Seperti diketahui, pada saat chaos pada tahun 1965, banyak satuan militer di Jakarta berbeda-beda orientasi keberpihakannya. Ketiga, seringkali seorang anggota PKI yang ditangkap ketika dipaksa untuk menunjuk siapa teman-temannya, main tunjuk saja, misalnya ke tetangganya yang diketahuinya justru anti PKI atau setidaknya kebetulan tak disenanginya. Main tunjuk ini, juga dilakukan oleh anggota masyarakat yang menggunakan kesempatan untuk mencelakakan orang-orang yang tak disenanginya karena alasan pribadi. Hal serupa, sebenarnya juga terjadi di berbagai daerah lainnya.
Sementara itu di Jawa Tengah, begitu Letnan Kolonel Untung mengumumkan terbentuknya Dewan Revolusi di Jakarta, sejumlah perwira berhaluan komunis di Divisi Diponegoro mengambilalih komando dari tangan Panglima Diponegoro, Mayor Jenderal Surjo Sumpeno dan melakukan penangkapan-penangkapan. Di daerah ini, berbeda dengan yang terjadi di Jawa Timur, massa PKI, terutama Pemuda Rakyat dan BTI memilih sikap mendahului daripada didahului. Membantai atau dibantai. Mereka melakukan kekerasan-kerasan berdarah kepada unsur-unsur non-PKI, terutama terhadap Pemuda Marhaenis PNI dan Pemuda Ansor NU. Tim Peneliti Universitas Gajah Mada dan Arthur Dommen melaporkan bahwa sejak awal Oktober 1965, PKI Boyolali dan Klaten mendahului untuk bertindak. “Mereka melakukan pembantaian besar-besaran dalam skala ratusan korban, yang mengakibatkan pula ratusan tokoh PNI dan NU serta massa mereka yang mencapai belasan ribu orang melarikan diri” (Rum Aly, “Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1965”).
Lebih jauh dipaparkan, bahwa dapat dikatakan suasana dibantai atau membantai ini berlangsung sepanjang Oktober bahkan sampai Nopember, dengan korban cukup banyak pada kedua belah pihak. Menurut laporan penelitian itu, massa PKI juga sempat melakukan ‘kup’ atas camat Manisrenggo dan merebut senjata yang ada di kantor kecamatan. Di bagian lain wilayah Jawa Tengah, ketika orang-orang PKI menculik dan menawan banyak tokoh-tokoh PNI dan anggota organisasi non-komunis lainnya, maka terjadi pula upaya membebaskan dengan menyerbu desa-desa basis PKI, dengan meminta bantuan tentara. Karena adanya suasana balas membalas itu, maka angka korban yang jatuh juga tinggi. Belum lagi bahwa di tengah suasana saling mencurigai antar desa dan antar penduduk dalam satu desa, kerapkali terjadi salah bantai, dan tak kurang pula ekses berupa pemanfaatan situasi balas dendam lama di antara penduduk untuk soal lain sebelumnya yang sama sekali tak ada kaitannya dengan masalah ideologi dan politik. Situasi inilah yang menjadi salah satu alasan pasukan RPKAD (kini, Kopassus) di bawah Brigjen Sarwo Edhie, menawarkan pelatihan militer bagi sejumlah organisasi pemuda bukan PKI, yang dipusatkan di Salatiga.
Suasana balas berbalas ini makin meningkatkan kemarahan semua pihak yang terlibat dalam rangkaian malapetaka berdarah ini. Kedua belah pihak sama kejamnya dalam membasmi lawan. Namun pada akhirnya, massa PKI lebih terpojok, sebagian besar terbunuh dan sisanya lari bersembunyi ke daerah-daerah hutan pegunungan. Mereka ini kemudian pada akhir 1967 diorganisir oleh tokoh-tokoh PKI yang belum tertangkap, menjadi apa yang mereka sebut compro (comite proyek) atau daerah basis untuk melakukan perlawanan bersenjata. Ada 4 compro di pegunungan, yakni compro Merapi-Merbabu, compro Sindoro Sumbing, compro Muria dan compro Slamet, ditambah compro kota. Gerakan bersenjata ini berlangsung hingga 1968.
Tercatat pula keterlibatan anggota-anggota KKO (kini, Korps Marinir) sebagai perorangan dalam berbagai peristiwa di Jawa Tengah ini. Keterlibatan ini, seperti yang pernah dituturkan seorang perwira KKO, Kolonel Soejoe, adalah karena faktor emosional semata akibat jatuhnya anggota keluarga mereka dalam gelombang mass murder yang terjadi. Kebetulan bahwa keluarga mereka yang dibantai secara membabi-buta itu adalah dengan tuduhan terlibat PKI –meskipun sebenarnya terselip pula kejadian sebaliknya, menjadi korban pembunuhan oleh orang-orang PKI. Keterlibatan anggota-anggota KKO ini sempat menjelma menjadi suatu isu nasional, yang menambah ketegangan antara KKO di bawah Panglima KKO Letnan Jenderal Hartono yang pro Soekarno dengan TNI Angkatan Darat pendukung Jenderal Soeharto. Sementara itu, anggota-anggota KKO yang keluarganya belum menjadi korban, namun terancam oleh tuduhan terkait PKI, terlibat dalam upaya-upaya membela dan melindungi keluarga mereka itu dan kerapkali dengan bantuan teman-teman satu korps sebagai tanda solidaritas, tanpa pertimbangan politis apapun sebenarnya. Saat melakukan upaya perlindungan itulah para anggota KKO ini banyak terlibat bentrokan dengan satuan-satuan Angkatan Darat, terutama dengan pasukan RPKAD yang bertugas melakukan penyisiran terhadap PKI di Jawa Tengah.

Kutub Tujuh Pemberontakan di Indonesia: Di Ujung Kiri PKI, di Ujung Kanan DI/TII (4)


SASARAN utama provokasi dan kekerasan oleh massa PKI di Jawa Tengah pada masa prolog Peristiwa 30 September 1965, adalah para pengikut PNI. Padahal, di tingkat nasional, PNI dan PKI seolah-olah terkesan kuat sebarisan dalam barisan Nasakom. Di tubuh PNI kala itu PKI bahkan berhasil ‘menanam’ seorang kadernya, Ir Surachman, dalam posisi penting sebagai Sekertaris Jenderal DPP PNI, mendampingi Ketua Umum Ali Sastroamidjojo SH. Itu sebabnya kemudian dalam pergolakan politik tahun 1966 ada penamaan PNI Asu, untuk membedakan dengan faksi PNI Osa-Usep yang menolak pengaruh unsur kom di tubuhnya.

AIDIT DAN POSTER PKI. “Membunuh itu, bisa mencandu, menimbulkan ekstase. Apalagi bila para korban tak berdaya meratap memohon, itu akan merangsang para eksekutor untuk lebih menikmati keperkasaan kekuasaannya. Pada beberapa kalangan massa organisasi Islam di sana, pembasmian anggota PKI yang dianggap anti Tuhan, bahkan diyakini sebagai bagian tugas membela agama. Bagi PKI ini menjadi antiklimaks, setelah sebelumnya di masa Nasakom sangat agresif menjalankan teror mental terhadap lawan politiknya di seluruh Indonesia”. (download anam78.blogspot.com/kompasiana.com)
Kenapa pengikut PNI di Jawa Tengah menjadi sasaran utama PKI, tak lain karena pada waktu itu, pengikut-pengikut PNI di Jawa Tengah dominan dalam jabatan-jabatan pemerintahan daerah, dominan dalam dunia usaha dan memegang kepemilikan terbesar dalam pertanahan. Sedangkan sasaran politik PKI adalah pemerataan kepemilikan tanah dengan cara radikal, dan untuk jangka panjang pemerataan kekayaan. Secara ideal, pemerataan tentulah baik, namun bila dilakukan dengan cara paksa dan radikal melalui kekerasan, sama artinya dengan penjarahan. Di Jawa Timur, sementara itu, para haji pengikut NU lah yang menjadi pemilik areal terluas tanah-tanah pertanian maupun dalam berbagai bentuk penggunaan tanah lainnya. Para pengikut NU juga unggul dalam kehidupan ekonomi lainnya. Maka, di provinsi tersebut, aksi radikal massa PKI dalam pertanahan dan perang terhadap apa yang mereka namakan ‘setan desa’ lebih tertuju kepada para pengikut NU.
Bisa dipahami bila kemudian pada masa epilog, saat terjadinya pembalasan dendam sosial politik di Jawa Timur, pelaku terdepan dalam peristiwa tersebut adalah massa NU, khususnya Barisan Ansor Serba Guna dari Pemuda Ansor. Kita ingin kembali mengutip pemaparan dalam buku “Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966” –yang untuk sebagian pernah dimuat di blog sociopolitica dalam serial “Malapetaka Sosiologis Indonesia”, Oktober 2009– berikut ini.
Berbeda dengan Jawa Tengah dan Yogya, keadaan yang agak kurang imbang terjadi di Jawa Timur. Kecuali di beberapa daerah di mana massa PKI mendahului bersikap agresif dan melakukan pembantaian, pada umumnya mereka lah yang lebih banyak mengalami pembantaian. Di Banyuwangi, massa PKI mendahului melakukan penculikan dan pembunuhan, tetapi sebaliknya di sekitar Malang mereka lah yang menjadi sasaran. Terjadi pula suatu keadaan khusus di suatu daerah yang pendukung PKInya lebih dominan. Sejumlah anggota Pemuda Marhaenis dan anggota Banser dipaksa menjadi tameng luar untuk pertahanan desa mereka dengan pengawasan Pemuda Rakyat. “Suatu ketika, ada serangan pembalasan atas desa tersebut, dan dua orang anggota Banser yang dijadikan tameng tertawan, lalu ‘diadili’. Seorang anggota Banser dari pihak yang menawan, dengan sikap ‘darah dingin’ menebas leher salah satu dari tawanan itu. Temannya yang lain dengan menangis-nangis memberitahukan bahwa mereka sebenarnya adalah anggota Banser yang dijadikan tameng. Setelah dilakukan pengecekan, memang ternyata kedua tawanan itu adalah anggota Banser, tetapi bagaimana pun juga kepala yang telah terpancung itu tak dapat direkatkan lagi”.
Seorang siswa SMA, putera seorang penegak hukum yang bertugas di Malang, Sjahrul –yang kemudian kuliah di ITB dan menjadi aktifis mahasiswa sejak tahun 1967– mengisahkan betapa di pagi hari merupakan pemandangan biasa bila ada kepala manusia hasil pembantaian tergantung di pagar kantor ayahandanya. Keikutsertaan sebagai pembantai bahkan kerapkali dianggap semacam tugas suci oleh beberapa anak muda belasan tahun. “Seorang teman sekolah saya di SMA, kerap bercerita, mengenai pengalamannya beroperasi pada malam sebelumnya”. Kelakuan para remaja yang terbawa arus melakukan pembantaian tampak berangsur-angsur menjadi tidak wajar. Sering ada pengakuan dan dugaan bahwa pembunuhan dilakukan karena diperintah, oleh tentara misalnya, tetapi menurut Sjahrul cukup banyak yang melakukannya semata-mata karena terbawa arus saja dan akhirnya terbiasa melakukan tanpa disuruh.
Membunuh itu, bisa mencandu, menimbulkan ekstase. Apalagi bila para korban tak berdaya meratap memohon, itu akan merangsang para eksekutor untuk lebih menikmati keperkasaan kekuasaannya. Pada beberapa kalangan massa organisasi Islam di sana, pembasmian anggota PKI yang  dianggap anti Tuhan, bahkan diyakini sebagai bagian tugas membela agama. Bagi PKI ini menjadi antiklimaks, setelah sebelumnya di masa Nasakom sangat agresif menjalankan teror mental terhadap lawan politiknya di seluruh Indonesia. Di Jawa Timur, seringkali dikisahkan bahwa pada masa itu, setiap hari Kali Brantas penuh dengan tubuh hanyut manusia yang telah diberantas. Persis yang terjadi dengan Bengawan Solo di Jawa Tengah. Kasat mata dan menurut perkiraan, jumlah korban yang jatuh di Jawa Timur jumlahnya melebihi jumlah korban peristiwa-peristiwa di Jawa Tengah.
Hasutan dan menutup jejak. Seperti halnya di Jawa Tengah dan Jawa Timur, di Bali orang-orang PKI juga ‘mengakumulasi’kan sejumlah tindakan yang menimbulkan keirihatian dan dendam sejak sebelum Peristiwa 30 September 1965. Pusat Studi Pedesaan Universitas Gadjah Mada, mencatat terjadi sejumlah aksi kekerasan yang dilakukan anggota-anggota PKI di pedesaan-pedesaan Bali sejak Januari 1965. Di Buleleng tercatat beberapa aksi sepihak, seperti misalnya yang dilakukan Wayan Wanci dan kawan-kawannya dari BTI. Ia menyewa tanah dari Pan Tablen, dan suatu ketika sewa menyewa itu dihentikan. Lalu 250 massa BTI menduduki kembali tanah itu, pada 8 Januari 1965, disertai aksi penghancuran rumah Pan Tablen.
Aksi sepihak lainnya terjadi 14 Januari, antara seorang menantu yang anggota BTI dengan mertuanya. Ketika mertua meminta kembali tanah yang dipinjamkan, sang menantu dan kawan-kawannya dari BTI melakukan pengrusakan atas tanaman jagung di atas tanah tersebut, lalu menduduki dan menggarap sawah itu. Aksi-aksi sepihak yang serupa terjadi berkali-kali, dan biasanya BTI berhadapan dengan para pemilik yang kebetulan anggota PNI. Dalam salah satu insiden soal tanah, 4 Maret 1965, beberapa anggota PKI menyerang beberapa anggota PNI dengan parang dan senjata tajam lainnya.
Tetapi, serangan pembalasan tak segera terjadi setelah Peristiwa 30 September 1965, kendati berita arus pembalasan yang terjadi di Jawa Tengah dan Jawa Timur telah sampai ke Bali. Baru pada bulan November mulai muncul ‘hasutan’, terutama dari tokoh-tokoh PNI yang memiliki dendam. Tekanan utama waktu itu memang bukanlah pada soal-soal ideologis, meskipun perbedaan ideologis adalah satu faktor, melainkan kepada rivalitas pengaruh dan kepentingan manusiawi yang sudah laten antara pengikut-pengikut PKI dan PNI seperti digambarkan AA Oka Mahendra.
PNI secara turun temurun dominan di Bali. Golongan bangsawan dan pemuka masyarakat umumnya pendukung PNI, sehingga dengan pengaruh mereka PNI memiliki massa pengikut yang besar jumlahnya di Bali. Tetapi PKI di Bali sementara itu berhasil memasuki celah-celah kesenjangan dalam kehidupan sosial, terutama dalam mendekati rakyat pedesaan Bali yang menjadi petani dengan kepemilikan tanah yang kecil atau samasekali tidak memiliki tanah. Sebenarnya selama puluhan tahun ada harmoni antara kaum bangsawan pemilik tanah dengan para petani, melalui semacam sistim bagi hasil yang adil. Selain itu, setiap kali ada perselisihan, mekanisme adat dan peranan kaum agamawan senantiasa berhasil menjadi media penyelesaian. Akan tetapi kehadiran yang lebih menonjol dan perubahan perilaku politik PKI pada tahun-tahun terakhir menjelang Peristiwa 30 September 1965, telah menghadirkan sejumlah perubahan. Beberapa petani menunjukkan sikap yang lebih agresif.
Faktor lain yang membuat PKI menonjol di Bali adalah bahwa dalam Nasakomisasi yang dijalankan oleh Gubernur Suteja –seorang pendukung utama Soekarno dan punya kedekatan dengan PKI– PKI mendapat keleluasaan berlebihan. Dalam suasana Nasakomisasi, banyak tindakan PKI, dipimpin Tio Kandel sebagai Ketua CDB, seperti aksi-aksi sepihak dalam masalah pertanahan, bisa berlangsung bebas tanpa penindakan. Apalagi setelah Panglima Kodam Udayana Brigjen Supardi yang anti PKI, digantikan pada tahun 1963 oleh Brigjen Sjafiuddin yang sangat patuh terhadap Soekarno. Isteri Safiuddin punya kedekatan khusus dengan Gerwani. Adalah menarik, meskipun secara horizontal di lapisan bawah massa PNI banyak berbenturan dengan massa PKI, dalam banyak hal para elite PNI di Bali bisa berdampingan nyaman dengan tokoh-tokoh PKI. Bahkan terjadi beberapa jalinan kepentingan bersama yang menguntungkan, termasuk secara ekonomis. Ada beberapa pengusaha yang kebetulan keturunan China, selain dekat dengan tokoh-tokoh PKI juga punya jalinan dengan tokoh-tokoh PNI, sehingga terjadi pertalian di antara ketiganya. Meskipun, sebaliknya dalam beberapa kasus lainnya terjadi pula persaingan kepentingan ekonomi dan politik yang tajam di antara tokoh-tokoh PNI tertentu dengan tokoh-tokoh PKI di Bali.
PKI nyaman bersama Brigjen Sjafiuddin. Namun, setelah Peristiwa 30 September 1965 terjadi, pada pertengahan Oktober sewaktu arah angin dan situasi menjadi lebih jelas, dengan gesit Brigjen Sjafiuddin melancarkan operasi pembersihan terhadap mereka yang dianggap terlibat PKI, terutama internal Kodam Udayana. Akan tetapi, sejauh yang dapat dicatat, tidaklah terlalu jelas ‘kategori’ sebenarnya dari mereka yang ditangkap, karena sebaliknya banyak yang menurut perkiraan umum akan ditangkap ternyata ‘lolos’ atau diloloskan. Belum lagi, sejumlah kasus salah tangkap.
Menurut Soe-Hokgie, pemicu kekerasan yang kemudian terjadi di Bali adalah hasutan-hasutan sejumlah tokoh. Seorang tokoh PNI menghasut orang-orang untuk melakukan aksi kekerasan dengan mengatakan  Tuhan menyetujui pembantaian terhadap orang-orang PKI, dan bahwa hukum tidak akan mengena orang yang melakukannya. Seorang tokoh lain mengatakan bahwa mengambil harta benda milik orang PKI tidak melanggar hukum. “Kelompok-kelompok yang berjaga-jaga mulai keluar dengan berpakaian serba hitam dan bersenjatakan pedang, pisau, pentungan dan bahkan senjata api. Rumah-rumah penduduk yang diduga sebagai anggota PKI dibakar sebagai bagian dari pemanasan bagi dilancarkannya tindakan-tindakan yang lebih kejam”. Kemudian pembantaian pun mulai terjadi di mana-mana. “Selama tiga bulan berikutnya, Bali menjadi sebuah mimpi buruk pembantaian”. Dengan perkiraan yang paling konservatif, menurut Soe-Hokgie, “paling tidak 80.000 orang terbunuh”, dari berbagai tingkat usia, pria dan perempuan. Soe-Hokgie menyimpulkan, pembantaian massa PKI di Bali tidak berlangsung spontan melainkan terutama karena hasutan tokoh-tokoh PNI dan mulai terjadi bulan November 1965. Faktor lain, ada beberapa tokoh PNI yang karena ingin menutupi ‘kerjasama’nya dengan PKI di masa lampau, kemudian memprovokasi suatu eliminasi terhadap PKI.
Melengkapi pembunuhan-pembunuhan dan pembakaran rumah-rumah, terjadi pula tindakan-tindakan pemerkosaan terhadap sejumlah besar perempuan yang dikaitkan dengan Gerwani. Salah satu pelaku pemerkosaan paling brutal, tulis Soe-Hokgie, adalah Widagda seorang pimpinan PNI dari Negara. Ia ini adalah adik laki-laki Wedasastra Suyasa, seorang tokoh terkemuka PNI di Bali dan anggota DPR-GR di Jakarta. Widagda memperkosa puluhan wanita yang dituduh PKI, meskipun terbukti kemudian bahwa tidak selalu tuduhan terkait PKI itu benar. Tiga di antara korban mengajukan kasus ke pengadilan, dan Widagda akhirnya dijatuhi hukuman 3 tahun penjara yang amat tidak setimpal. Pelaku-pelaku lain selain Widagda, tak sempat tersentuh hukum. Merupakan fakta, pembasmian di Bali hanya mengena kalangan akar rumput PKI, sementara banyak lapisan atasnya lolos dan bisa tinggal dengan aman di Jakarta.

Kutub Tujuh Pemberontakan di Indonesia: Di Ujung Kiri PKI, di Ujung Kanan DI/TII (5)


TENTU masih banyak contoh lain yang bisa dipaparkan selain Jawa dan Bali. Rentetan peristiwa kekerasan kemanusiaan yang dialami pengikut PKI, maupun kekerasan timbal balik dengan korban bukan PKI di Jawa dan Bali itu, terjadi pula di Sumatera Utara, Sumatera Selatan, provinsi-provinsi di Kalimantan, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara, atau pun daerah-daerah lainnya dalam skala hampir setara, menengah maupun yang lebih kecil. Di Sulawesi Selatan, kekerasan tak hanya menimpa pengikut-pengikut PKI, tetapi juga massa Marhaen pengikut PNI –berbalikan dengan apa yang terjadi Jawa Tengah dan Bali dengan massa PNI sebagai pelaku terdepan.
SOEKARNO DAN JENDERAL SOEHARTO. “Dengan demikian kita akan memperoleh catatan tentang kebenaran sepenuhnya. Kita pun akan memiliki catatan kebenaran yang objektif tentang peranan beberapa tokoh pimpinan nasional kita dalam rangkaian peristiwa, mulai dari Ir Soekarno sampai Jenderal Soeharto dan para jenderalnya, ataukah sepak terjang DN Aidit dan PKI maupun pimpinan-pimpinan ormas yang terlibat dalam kekerasan timbal balik kala itu”. (foto reuters/nusantarahistory)
Rekonsiliasi: Berdasarkan kebenaran sejarah. Bukan pemutihan. Dengan contoh-contoh peristiwa di Jawa dan Bali saja, sudah terlihat betapa rumitnya sebenarnya Peristiwa 30 September 1965 tersebut, baik di masa prolog, pada momen peristiwa maupun di masa epilog. Harus diakui, korban terbesar kejahatan kemanusiaan di masa epilog adalah pengikut-pengikut PKI, tapi tak kurang banyaknya juga adalah dari mereka yang dari kalangan non-PKI ataupun yang sebenarnya tak tahu menahu persoalan politiknya. Pelakunya pun dari semua arah dan semua pihak, meskipun ada perbedaan kadar kejahatan satu sama lain.Tapi tetap saja, kejahatan adalah kejahatan.
Tepat 30 September 2012, 47 tahun setelah Peristiwa 30 September 1965, sejarawan muda Bonnie Triyana, Pemimpin Redaksi Majalah Historia, menuntut kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono agar “negara mengakui bahwa dulu ada pelanggaran HAM berat”. Bahwa, “Ada rakyat Indonesia yang disiksa, dibunuh, ditangkap, dan dipenjara tanpa melalui proses pengadilan. Negara dahulu gagal melindungi rakyatnya”. Dan, pada 1 Oktober 2012, putera DN Aidit, Ilham Aidit, yang saat peristiwa 1965 terjadi baru berusia enam setengah tahun, dikutip pers mengatakan tentang tragedi 1965 itu, “saya kesal karena pemerintah tak bisa menyelesaikan kasus pelanggaran berat masa lalu”. Kedua pernyataan bisa dipahami, tetapi tak bisa dipenuhi sebelum ada penelitian atau penyelidikan yang jujur dan cermat atas peristiwa. Kalau ingin melakukan desakan, inilah yang harus dituntut dan didorong. Penyelidikan yang telah dilakukan oleh Komnas HAM perlu diapresiasi, namun belum bisa dianggap memadai untuk tidak mengatakannya masih sumir dan hanya mampu mengetengahkan sebagian dari kebenaran yang diperlukan.
SAAT kejahatan kemanusiaan itu terjadi di tahun 1965-1966, Susilo Bambang Yudhoyono, baru berusia 16-17 tahun, sekitar 10 tahun lebih tua dari Ilham Aidit. Tapi karena hingga saat ia menjadi Presiden RI sekarang ini posisi kebenaran dari peristiwa itu belum juga jelas, maka tak boleh tidak, sebagai presiden ia harus memikirkannya. Lebih-lebih Bonnie, yang mungkin saja malah belum lahir saat peristiwa terjadi. Namun karena ia seorang sejarawan yang merasa lekat dengan isu HAM, jadilah ia orang yang menyerukan kepada SBY agar negara mengakui pelanggaran HAM masa lampau itu.
Ini semua tentu menarik, dan sekaligus menunjukkan betapa telah begitu lamanya kebenaran di sekitar peristiwa di tahun 1965-1966 itu tak terjamah dengan baik. Dan karena begitu lamanya kebenaran itu terlunta-lunta dalam perjalanan waktu –sedikit lagi genap setengah abad– kesimpangsiuran tentang kebenaran itu sendiri semakin menjadi. Sebagian terbesar dari manusia Indonesia, yang merupakan generasi baru, barangkali termasuk Susilo Bambang Yudhoyono dan Ilham Aidit, apalagi Bonnie Triyana, hidup berhadapan dengan kesimpangsiuran tentang kebenaran peristiwa tahun 1965. Semoga mereka tak termasuk di antara yang ‘tersesat’ dalam pemahaman. Dalam kesimpangsiuran itu, pandangan subjektif tentang peristiwa yang erat terkait dengan posisi narasumber dalam peristiwa dan pengalaman sejarah, sangat dominan. Tercipta kutub-kutub ekstrim yang jauh berbeda satu sama lain dalam kesimpangsiuran itu, yang karena ‘dipelihara’ lalu mewaris ke generasi lebih muda. (Baca, “Peristiwa 1965: PKI dalam Perspektif Pembalasan dan Pengampunan”, bagian 3, sociopolitica, 2 Agustus 2012).
Tentu dengan ilmu sejarah, kebenaran objektif dari peristiwa yang telah berlalu lebih dari 40 tahun itu bisa digali, setidak-tidaknya bisa didekati sedekat-dekatnya. Namun sayang, bahkan sejarawan sekalipun –seperti Asvi Warman Adam, dan beberapa sejarawan lainnya yang lebih muda– gagal menggali kebenaran melalui ilmu sejarah, bahkan ada yang tergelincir memalsukan sejarah mengikuti contoh manipulasi yang dilakukan sejumlah sejarawan di bawah perintah penguasa militer masa Soeharto. Dulu ada Nugroho Notosusanto cs, kini ada Asvi Warman Adam cs. Bedanya hanya, lain kutub tempat berpijak, yang mungkin karena beda orientasi ‘pasar’ dan atau subjektivitas lainnya. Bila dulu manipulasi kebenaran terlalu jauh berayun ke kanan, kini ganti berayun terlalu jauh ke kiri. Mirip belah bambu saja, kalau ada yang diangkat, maka harus ada yang diinjak. Apa memang susah menjadi sejarawan objektif –katakanlah seperti Anhar Gonggong yang kini seakan tipe langka– yang taat kepada disiplin kebenaran dan objektivitas penafsiran sejarah?
SAATNYA bandul sejarah tak lagi dibiarkan berayun-ayun liar. Jangankan manipulasi sejarah, kebenaran sejarah yang sengaja diketengahkan separuh-separuh pun akan bermakna sebagai ketidakbenaran. Banyak peristiwa sejarah yang telah sempat dijungkirbalikkan kebenarannya, termasuk tentang tujuh pemberontakan yang pernah terjadi: Pemberontakan DI/TII, pemberontakan Madiun, pemberontakan RMS, pemberontakan PRRI-Permesta, Peristiwa 30 September 1965, sampai pemberontakan separatis OPM dan GAM. Penggalian mengenai kebenaran sejarah dari tujuh peristiwa itu, perlu dilakukan dengan cermat dan arif, untuk setidaknya memperoleh catatan pembelajaran yang benar. Dua di antaranya perlu mendapat prioritas. Salah satunya adalah mengenai Pemberontakan DI/TII, karena hingga kini masih selalu hidup semangat untuk mendirikan Negara Islam Indonesia di kalangan ‘minoritas’ tertentu dan bersamaan dengan itu selalu ada upaya pemutihan terhadap apa yang telah dilakukan DI/TII di masa lampau itu dengan memberi makna sebagai perjuangan suci.
Lainnya, adalah Peristiwa 30 September 1965 dalam kaitan isu kemanusiaan. Kekerasan yang dialami seorang pelaku kejahatan, tak menghapuskan esensi dari apa yang dilakukannya, namun jelas bahwa kekerasan itu adalah satu kejahatan lainnya. Eksekusi tembak yang sengaja dilakukan seorang perwira AD, Jassir Hadibroto –yang sempat mencapai pangkat jenderal di kemudian hari– sebagai jalan pintas eliminasi terhadap DN Aidit di sebuah kebun singkong di Boyolali Oktober 1965, adalah kejahatan –bersama dengan atasan pemberi perintah. Pada sisi lain, eksekusi tersebut –yang latar belakangnya belum bisa dijelaskan, kecuali bahwa itu diduga dilakukan untuk menutup jejak tertentu dalam peristiwa– tak serta merta bisa menghapus keterlibatan DN Aidit atau PKI yang dipimpinnya sebagai pelaku dalam Peristiwa 30 September 1965.
Khusus mengenai kejadian-kejadian di seputar Peristiwa 30 September 1965 tersebut, prakarsa Komnas HAM yang sedang mengungkapkan sebagian dari kebenaran tentang kejahatan kemanusiaan pada waktu itu, wajib ‘dibantu’ untuk menjadi pengungkapan kebenaran sepenuhnya. Kalangan perguruan tinggi yang memiliki penguasaan metode penelitian kebenaran, perlu untuk mengambil peranan penting. Seluruh rangkaian peristiwa, mulai dari masa prolog sampai epilog, baik aspek sosial-politiknya maupun aspek kekerasan dan kejahatan kemanusiaan yang terjadi dalam rangkaian tersebut, perlu ditelusuri dengan jujur dan cermat: Apakah sepenuhnya genosida (berdasarkan perbedaan ideologi) oleh penguasa militer, apakah malapetaka sosiologis berupa kekerasan yang balas berbalas ataukah konsekuensi logis dari pertarungan politik yang menghalalkan penggunaan kekuatan massa dalam kekerasan, atau apa? Dengan demikian kita akan memperoleh catatan tentang kebenaran sepenuhnya. Kita pun akan memiliki catatan kebenaran yang objektif tentang peranan beberapa tokoh pimpinan nasional kita dalam rangkaian peristiwa, mulai dari Ir Soekarno sampai Jenderal Soeharto dan para jenderalnya, ataukah sepak terjang DN Aidit dan PKI maupun pimpinan-pimpinan ormas yang terlibat dalam kekerasan timbal balik kala itu.
Penelitian akan meliputi rentang waktu 1960 sampai setidaknya tahun 1969. Atau mungkin lebih jauh lagi, sampai pertengahan 1970an saat masalah tahanan politik, khususnya yang di Pulau Buru, diakhiri dan ‘diselesaikan’. Bila kebenaran sepenuhnya berhasil ditemukan atau didekati sedekat-dekatnya, akan mudah mengambil keputusan-keputusan tindak lanjut: Apakah rekonsiliasi, ataupun penyelesaian-penyelesaian politik lainnya yang diperlukan, dengan keadilan sebanyak-banyaknya bagi semua pihak. Namun tidak perlu ada pemutihan atas sesuatu yang salah –dilakukan oleh siapa pun.
SEBAGAI penutup catatan ini, perlu untuk meminjam apa yang dikatakan Letnan Jenderal Purnawirawan Agus Widjojo –putera salah satu Pahlawan Revolusi, Mayjen Suwondo Parman– 1 Oktober 2012, “Kita tidak mencari siapa benar atau siapa salah, melainkan melihat di mana kesalahan negara ini. Apa yang salah dengan bangsa ini”. Meski formulasi pengutaraan sebagaimana dikutip pers itu mungkin saja tak sepenuhnya bisa disepakati, tetapi pertanyaan mengenai apa yang salah dengan bangsa ini, perlu dipikirkan mendalam dan dicari jawabnya.