Selasa, 24 Januari 2012

Menyorot Buruknya Gedung Sekolah





Dipastikan, pada 2012 Dinas Pendidikan kabupaten/kota se-Indonesia akan ’’kebanjiran’’ proyek. Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah menyiapkan anggaran sebesar Rp16 triliun untuk rehabilitasi terhadap sejumlah gedung sekolah yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.
Program yang dikemas dengan nama Gerakan Nasional Rehabilitasi Gedung Sekolah ini terkesan tumpang tindih, mengingat kini Kemendikbud masih mengucurkan program bantuan dana alokasi khusus (DAK) yang kegunaannya sama, yakni untuk rehabilitasi gedung sekolah dan pengadaan buku serta alat pembelajaran. Belum lagi dari sumber lain, seperti dana percepatan pembangunan infrastruktur pendidikan (DPPIP).  
Sedikit aneh, pada 2010 Kemendikbud telah menyatakan bahwa rehabilitasi untuk gedung sekolah dasar (SD) yang dibiayai bantuan DAK dianggap telah purna, maka sejak tahun itu bantuan DAK sebagian diperuntukkan bagi sekolah menengah pertama (SMP). Nyatanya, masih ada sekitar 11.000-an gedung SD dan 60.000-an gedung SMP yang masuk dalam daftar perbaikan melalui gerakan nasional ini.
Kita perlu memberi apresiasi atas langkah yang diambil pemerintah dalam mengatasi kerusakan bangunan sekolah yang nyaris tidak tertangani oleh pemerintah kabupaten/kota. Hal itu sejalan dengan program aksi bidang pendidikan, yakni meneruskan dan mengefektifkan program rehabilitasi gedung sekolah yang sudah dimulai pada periode 2004–2009, sehingga terbangun fasilitas pendidikan yang memadai dan bermutu dengan memperbaiki serta menambah prasarana fisik sekolah dan penggunaan teknologi informatika dalam proses pengajaran yang akan menunjang proses belajar mengajar agar lebih efektif dan berkualitas.
Selain itu, pemanfaatan alokasi anggaran minimal 20 persen dari APBN untuk memastikan pemantapan pendidikan gratis dan terjangkau untuk pendidikan dasar 9 tahun dan dilanjutkan secara bertahap pada tingkatan pendidikan lanjutan di tingkat SMA. Tidak kalah pentingnya, yakni perbaikan secara fundamental kualitas kurikulum dan penyediaan buku-buku yang berkualitas agar makin mencerdaskan siswa. Program ini bersifat blockgrant atau bantuan langsung ke sekolah dan dilaksanakan secara swakelola oleh unsur sekolah.
Maka sesungguhnya program ini tak ubahnya seperti bantuan DAK, meski pada 2010 polanya diubah dengan sistem lelang. Semua pihak tentu tidak ingin program Kemendikbud kali ini akan carut-marut seperti halnya bantuan DAK selama ini. Harus diakui secara jujur bahwa sejak program unggulan Pemerintah diluncurkan enam tahun lalu, bantuan DAK pendidikan selalu bermasalah dan banyak terjadi penyelewengan.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkapkan beberapa kasus penyelewengan DAK pendidikan di berbagai daerah dengan modus yang terstruktur rapi, antara lain, pemotongan anggaran, penggelembungan biaya rehabilitasi gedung, proyek fiktif, dan pungutan liar. Juga banyak terjadi penyimpangan terhadap standar atau spesifikasi teknis dalam pengadaan buku perpustakaan dan peralatan. Semua dapat terjadi karena lemahnya pengawasan, baik internal maupun eksternal.
Di sisi lain, petunjuk teknis yang ada terkesan membuka peluang lebar untuk terjadinya penyimpangan. Contoh, pagu biaya untuk rehabilitasi setiap satu ruang kelas nilainya sama, sementara jenis dan tingkat kerusakan masing-masing bangunan sangat bervariasi. Akibatnya, para oknum memanfaatkan peluang ini untuk meraup keuntungan. Dalam menentukan sekolah calon penerima bantuan DAK tidak berdasarkan skala prioritas, namun di pilih sekolah-sekolah yang tingkat kerusakannya relatif ringan sehingga anggaran yang tersedia masih terdapat sisa. Itulah sebabnya, mengapa banyak sekolah yang kondisi bangunannya telah rusak berat justru tidak pernah tersentuh bantuan DAK, karena dipastikan akan memakan biaya besar sehingga tidak terdapat sisa.
Dalam praktik kotornya, para oknum bekerja sama dengan konsultan perencana untuk melakukan rekayasa terhadap volume kerusakan bangunan agar ’’klop’’ dengan anggaran yang tersedia. Paket-paket empuk ini selanjutnya ’’dijual’’ kepada pihak ketiga, bukan dilaksanakan secara swakelola oleh pihak sekolah sebagaimana ketentuan yang ada.
Juknis DAK juga menentukan standar harga satuan bangunan tiap meter persegi dengan menggunakan standar BPS di kali ‘X’ rupiah. Padahal di setiap kabupaten/kota telah memiliki unit price harga satuan bahan dan upah yang di susun oleh dinas teknis sebagai dasar untuk menghitung besarnya biaya bangunan gedung negara sesuai peruntukannya. Pada kenyataannya, hasil perhitungan biaya yang mengacu juknis tersebut lebih besar di banding dengan perhitungan dinas teknis.
Kebijakan Pemerintah dengan memberikan bantuan secara langsung dalam bentuk hibah atau blockgrant kepada pihak sekolah sesungguhnya sudah benar. Pemerintah berharap agar pihak sekolah dapat melibatkan Komite Sekolah dan partisipasi masyarakat di sekitar sekolah sebagai bagian integral dari sistem manajemen berbasis sekolah. Hal ini sesuai UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa dana pendidikan dari Pemerintah pusat dan Pemerintah Daerah untuk satuan pendidikan diberikan dalam bentuk hibah.
Dalam Peraturan Pemerintah nomor 48 tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan juga menegaskan bahwa dana pendidikan dari Pemerintah dan/atau pemerintah daerah diberikan kepada satuan pendidikan dalam bentuk hibah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kepala sekolah selaku penerima hibah bertanggung jawab terhadap pelaksanaan kegiatan dan realisasi keuangan di satuan sekolah yang dipimpinnya. Jika kemudian pada 2010 pemerintah mengubah ketentuan pengelolaan DAK dari swakelola menjadi lelang dengan berpedoman pada Keppres RI No. 80/2003 dan perubahannya, ini berarti telah bertentangan dengan UU Sistem Pendidikan Nasional.
Memang, nampak jelas bahwa posisi Kemendiknas waktu itu serba sulit akibat adanya ’’tarik-menarik’’ kepentingan antara pihak Pemerintah dengan Komisi X DPR RI yang membidangi pendidikan. Hal ini terlihat dari bunyi pasal 18 ayat 5b yang menyebutkan bahwa Petunjuk teknis pelaksanaan DAK pendidikan harus terlebih dahulu dikonsultasikan/mendapatkan persetujuan Komisi X DPR RI yang membidangi pendidikan.
Akibat adanya tarik ulur kepentingan tadi, banyak bantuan DAK yang gagal dilaksanakan karena juknisnya baru terbit pada akhir Agustus 2010. Banyak kabupaten/kota penerima DAK yang menunda kegiatannya pada tahun 2011. Selain waktunya tidak cukup, juga khawatir akan bermasalah dengan hukum. Belajar dari pengalaman buruk dan kotor tersebut, maka program gerakan nasional rehabilitasi gedung sekolah harus benar-benar tepat guna dan tepat sasaran. Pengawasan dan monitoring terhadap pelaksanaan gerakan nasional harus lebih intensif, baik oleh tim kabupaten/kota, BPKP, DPRD maupun elemen masyarakat. Mengingat bahwa program tersebut merupakan instrumen untuk pemenuhan kewajiban Pemerintah dalam menunjang program wajib belajar 9 tahun, tidak ada alasan bagi aparat penegak hukum untuk menutup mata terhadap oknum pejabat yang nakal.
Kita semua dapat memahami bahwa kedudukan kepala sekolah yang secara struktural berada di bawah Dinas Pendidikan kabupaten/kota menjadi penyebab tidak berdayanya para kepala sekolah terhadap intervensi oknum dinas yang sering mengambil alih secara ’’paksa’’ kegiatan yang mestinya dilaksanakan secara swakelola oleh pihak sekolah. Karena itu, perlu adanya sanksi yang tegas dan memiliki efek jera bagi oknum yang berbuat nakal. Pelaku korupsi dana pendidikan harus benar-benar diusut karena berkaitan dengan masa depan anak bangsa. Penulis yakin, kita bersama mendambakan pendidikan yang berhasil, sehingga sumber daya manusia yang begitu melimpah mampu mengelola kekayaan negeri yang melimpah pula. Pendidikan diutamakan, hukum ditegakkan, dan kesejahteraan didapatkan.(*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar